Situs Ratu Baka sebenarnya bukan merupakan candi, melainkan reruntuhan sebuah kerajaan. Oleh karena itu, Candi Ratu Baka sering disebut juga Kraton Ratu Baka. Disebut Kraton Baka, karena menurut legenda situs tersebut merupakan istana Ratu Baka, ayah Lara Jonggrang. Kata 'kraton' berasal dari kata Ka-ra-tu-an yang berarti istana raja. Diperkirakan situs Ratu Baka dibangun pada abad ke-8 oleh Wangsa Syailendra yang beragama Buddha, namun kemudian diambil alih oleh raja-raja Mataram Hindu.
Peralihan 'pemilik' tersebut menyebabkan bangunan Kraton Baka dipengaruhi oleh Hinduisme dan Buddhisme.
Kraton Ratu Baka ditemukan pertama kali oleh arkeolog Belanda, HJ De Graaf pada abad ke-17. Pada tahun 1790 Van Boeckholtz menemukan kembali reruntuhan bangunan kuno tersebut. Penemuannya dipublikasikan sehingga menarik minat para ilmuwan seperti Makenzie, Junghun, dan Brumun yang melakukan pencatatan di situs tersebut pada tahun 1814. Pada awal abad ke-20, situs Ratu Baka diteliti kembali oleh FDK Bosch. Hasil penelitiannya dilaporkan dalam tulisan berjudul Keraton Van Ratoe Boko. Ketika Mackenzie mengadakan penelitian, ia menemukan sebuah patung yang menggambarkan seorang laki-laki dan perempuan berkepala dewa sedang berpeluk-pelukan. Dan di antara tumpukan batu juga diketemukan sebuah tiang batu bergambar binatang-binatang, seperti gajah, kuda dan lain-lain.
Di situs Ratu Baka ditemukan sebuah prasasti berangka tahun 792 M yang dinamakan Prasasti Abhayagiriwihara. Isi prasasti tersebut mendasari dugaan bahwa Kraton Ratu Baka dibangun oleh Rakai Panangkaran. Prasasti Abhayagiriwihara ditulis menggunakan huruh pranagari, yang merupakan salah satu ciri prasasti Buddha. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa Raja Tejapurnama Panangkarana, yang diperkirakan adalah Rakai Panangkaran, telah memerintahkan pembangunan Abhayagiriwihara. Nama yang sama juga disebut-sebut dalam Prasasti Kalasan (779 M), Prasati Mantyasih (907 M), dan Prasasti Wanua Tengah III (908 M). Menurut para pakar, kata abhaya berarti tanpa hagaya atau damai, giri berarti gunung atau bukit. Dengan demikian, Abhayagiriwihara berarti biara yang dibangin di sebuah bukit yang penuh kedamaian. Pada pemerintahan Rakai Walaing Pu Kombayoni, yaitu tahun 898-908, Abhayagiri Wihara berganti nama menjadi Kraton Walaing.
Kraton Ratu Baka yang menempati lahan yang cukup luas tersebut terdiri atas beberapa kelompok bangunan. Sebagian besar di antaranya saat ini hanya berupa reruntuhan.
Gerbang
Gerbang masuk ke kawasan wisata Ratu Baka terletak di sisi barat. Kelompok gerbang ini terletak di tempat yang cukup tinggi, sehingga dari tempat parkir kendaraan, orang harus melalui jalan menanjak sejauh sekitar 100 m. Pintu masuk terdiri atas dua gerbang, yaitu gerbang luar dan gerbang dalam. Gerbang dalam, yang ukurannya lebih besar merupakan gerbang utama.
Gerbang luar terdiri atas 3 gapura paduraksa yang berjajar arah utara-selatan, berhimpitan menghadap ke timur. Gapura terbesar, yang merupakan gapura utama, terletak di antara dua gapura pengapit. Ketiga gapura tersebut terletak di teras yang tinggi, sehingga untuk sampai ke pelataran teras orang harus menaiki dua tangga batu, masing-masing setinggi sekitar 2,5 m. Dinding teras diberi penguat berupa turap yang terbuat dari susunan batu andesit. Tak satupun dari ketiga gapura tersebut yang atapnya masih utuh, sehingga tidak diketahui bentuk aslinya.
|
Candi Batukapur
Sekitar 45 m dari gerbang pertama, ke arah timur laut, terdapat fondasi berukuran 5x5 m2 yang dibangun dari batu kapur. Diperkirakan bahwa dinding dan atap bangunan aslinya tidak terbuat dari batu, melainkan dari bahan lain yang mudah rusak, seperti kayu dan sirap atau genteng biasa.
Candi pembakaran
|
Candi pembakaran berbentuk teras tanah berundak setinggi 3 m. Letaknya sekitar 37 m ke arah timur laut dari gerbang utama. Bangunan ini berdenah dasar bujur sangkar dengan luas 26 m2. Teras kedua lebih sempit dari teras pertama, sehingga membentuk selasar di sekeliling teras kedua. Permukaan teras atas atau teras kedua merupakan pelataran rumput. Dinding kedua teras berundak tersebut diperkuat dengan turap dari susunan batu kali. Di sisi barat terdapat tangga batu yang dilengkapi dengan pipi tangga. Di tengah pelataran teras kedua terdapat semacam sumur berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 4X4 m2 yang digunakan sebagai tempat pembakaran mayat.
Di sudut tenggara candi pembakaran terdapat salah satu sumur tua yang konon merupakan sumber air suci.
Paseban
Pendapa
Sekitar 20 m dari paseban, arah selatan dari gapura, terdapat dinding batu setinggi setinggi 3 m yang memagari sebuah lahan dengan ukuran panjang 40 m dan lebar 30 m. Di sisi utara, barat dan selatan pagar tersebut terdapat jalan masuk berupa gapura paduraksa (gapura beratap).
|
Di beberapa tempat di bagian luar dinding terdapat saluran pembuangan air, yang disebut jaladwara. Jaladwara ditemukan juga di candi Banyuniba dan Barabudhur.
Dalam pagar batu tersebut terdapat dua teras yang dibangun menggunakan batu susunan andesit. Sepanjang tepi dinding dan di antara dua teras terdapat gang berlantai batu. Teras pertama disebut pendapa, berbentuk semacam panggung persegi setinggi 1,46 m, dengan ukuran luas 20 m2. Dalam bahasa Jawa, pendapa berarti ruang tamu atau hamparan lantai beratap yang umumnya terletak di bagian depan rumah. Tangga naik ke pendapa berada di sisi timurlaut dan baratlaut.
Diatas permukaan lantai pendapa terdapat 24 buah umpak batu.Teras kedua, yang disebut 'pringgitan' terletak di selatan pendapa. Pringgitan artinya ruang dalam atau ruang duduk. Pringgitan ini juga berdenah segi empat dengan luas 20 X 6 m. Di permukaan lantai pringgitan ditemukan 12 umpak batu.
Tempat pemujaan
Keputren
Dalam lingkungan yang bersebelahan dengan tempat ketiga kolam persegi di atas berada, terdapat 8 kolam berbentuk bundar yang berjajar dalam 3 baris.
Gua
No comments:
Post a Comment