PROUD TO BE INDONESIAN, MAY ALLAH SWT ALWAYS SAVE AND BLESS INDONESIA....

Saturday, July 2, 2011

Kerajaan Mataram Kuno / Medang

Kerajaan Mataram Kuno a.k.a Kerajaan Medang

Kerajaan Medang alias Kerajaan Mataram Kuno alias Kerajaan Mataram Hindu adalah nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Raja-raja kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak candi baik yang bercorak Hindu maupun Buddha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke-11.

Nama Mataram dan Medang
Pada umumnya sebutan Mataram Kuno lazim dipakai untuk menyebut nama Kerajaan ini pada periode Jawa Tengah. Nama Mataram merujuk pada nama ibu kota kerajaan ini. Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-16, biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram Hindu.
Istilah Kerajaan Medang dipakai untuk menyebut nama kerajaan pada periode Jawa Timur. Namun berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan sebetulnya nama Medang sudah dikenal sejak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah.

Awal berdirinya kerajaan
Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha saudara perempuan Sanna.
Sanna juga dikenal dengan nama sena atau Bratasenawa, yang merupakan raja Kerajaan Galuh yang ketiga (709 – 716 M).Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora (saudara satu ibu sanna) dalam tahun 716 M. Sena akhirnya melarikan diri ke Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa. Tarusbawa yang merupakan raja pertama Kerajaan Sunda (setelah tarumanegara pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh) adalah sahabat baik sanna. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya.
Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sanna, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa (mertuanya yang merupakan sahabat sanna). Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya. Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat).
Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.

Dinasti yang berkuasa
 
Pada umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu. Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur.
Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu Sanjaya. Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Menurut teori van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770-an), kekuasaan atas Mataram Hindu direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana. Mulai saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa, bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra. Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan berhasil menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Sailendra. Berkat perkawinan itu ia bisa menjadi raja Mataram Hindu, dan memindahkan istananya ke Mamrati. Peristiwa tersebut dianggap sebagai awal kebangkitan kembali Wangsa Sanjaya.
Menurut teori Bosch, nama raja-raja Mataram Kuno dalam Prasasti Mantyasih dianggap sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan.
Sementara itu Slamet Muljana berpendapat bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya. Contoh yang diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778 memuji Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa Sailendra” (Sailendrawangsatilaka). Dengan demikian pendapat ini menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.
Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai Panangkaran sampai dengan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai sejak Rakai Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung. Istilah Rakai pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit, yang bermakna “penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan “Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah Pancapana. Slamet Muljana kemudian mengidentifikasi Rakai Panunggalan sampai Rakai Garung dengan nama-nama raja Wangsa Sailendra yang telah diketahui, misalnya Dharanindra ataupun Samaratungga yang selama ini cenderung dianggap bukan bagian dari daftar para raja versi Prasasti Mantyasih.
Sementara itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang adalah Wangsa Isana yang baru muncul pada ‘’periode Jawa Timur’’. Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok yang membangun istana baru di Tamwlang sekitar tahun 929. Dalam prasasti-prasastinya, Mpu Sindok menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya adalah kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram.

Daftar raja-raja Mataram Kuno / Medang
Apabila teori Slamet Muljana benar, maka daftar raja-raja Medang sejak masih berpusat di Bhumi Mataram sampai berakhir di Wwatan dapat disusun secara lengkap sebagai berikut:
  • Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang
  • Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Syailendra
  • Rakai Panunggalan alias Dharanindra
  • Rakai Warak alias Samaragrawira
  • Rakai Garung alias Samaratungga
  • Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya
  • Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
  • Rakai Watuhumalang
  • Rakai Watukura Dyah Balitung
  • Mpu Daksa
  • Rakai Layang Dyah Tulodong
  • Rakai Sumba Dyah Wawa
  • Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
  • Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya
  • Makuthawangsawardhana
  • Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang berakhir
Pada daftar di atas hanya Sanjaya yang memakai gelar Sang Ratu, sedangkan raja-raja sesudahnya semua memakai gelar Sri Maharaja.
Struktur pemerintahan
Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Mataram/Medang. Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan Datu yang berarti “pemimpin”. Keduanya merupakan gelar asli Indonesia. Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga berubah menjadi Sri Maharaja.Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja versi Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu.
Jabatan tertinggi sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa.
Jabatan Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri namun tidak berhak untuk naik takhta.
Jabatan sesudah Mahamantri i Hino secara berturut-turut adalah Mahamantri i Halu dan Mahamantri i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri Bawang.
Jabatan tertinggi di Medang selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja. Mungkin semacam perdana menteri pada zaman sekarang atau setara dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit memang masih ada, namun kiranya setara dengan menteri dalam negeri pada zaman sekarang.

Keadaan penduduk
Penduduk Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada umumnya bekerja sebagai petani. Kerajaan Medang memangterkenal sebagai negara agraris, sedangkan saingannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim.
Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa. Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Buddha aliran Mahayana. Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa, agama Hindu dan Buddha tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi.

Konflik takhta periode Jawa Tengah
Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan (sekitar 856 – 880–an), ditemukan beberapa prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu Maharaja Rakai Gurunwangi dan Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra. Hal ini menunjukkan kalau pada saat itu Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di Pulau Jawa. Sedangkan menurut prasasti Mantyasih, raja sesudah Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang.
Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan sampai Bali. Mungkin karena kepahlawanannya itu, ia dapat mewarisi takhta mertuanya. Pemerintahan Balitung diperkirakan berakhir karena terjadinya kudeta oleh Mpu Daksa yang mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya.
Mpu Daksa sendiri kemudian digantikan oleh menantunya, bernama Dyah Tulodhong. Tidak diketahui dengan pasti apakah proses suksesi ini berjalan damai ataukah melalui kudeta pula. Tulodhong akhirnya tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang sebelumnya menjabat sebagai pegawai pengadilan.

Perpindahan Kerajaan
Teori van Bammelen; Menurut teori van Bammelen, perpindahan istana Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur disebabkan oleh letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyat. Konon sebagian puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan, yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh. Letusan tersebut disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik berupa abu dan batu.
Istana Mataram yang diperkirakan berada di Bhumi Mataram hancur. Tidak diketahui dengan pasti apakah Dyah Wawa tewas dalam bencana alam tersebut ataukah sudah meninggal sebelum peristiwa itu terjadi, karena raja selanjutnya yang bertakhta di Jawa Timur bernama Mpu Sindok. Mpu Sindok yang menjabat sebagai Rakryan Mapatih Hino mendirikan istana baru di daerah Tamwlang. Prasasti tertuanya berangka tahun 929.
Dinasti yang berkuasa di Medang periode Jawa Timur bukan lagi Sanjayawangsa, melainkan sebuah keluarga baru bernama Isanawangsa, yang merujuk pada gelar abhiseka Mpu Sindok yaitu Sri Isana Wikramadharmottungga.

Permusuhan dengan Sriwijaya
Selain menguasai Mataram, Wangsa Sailendra juga menguasai Kerajaan Sriwijaya di pulau Sumatra. Hal ini ditandai dengan ditemukannya Prasasti Ligor tahun 775 yang menyebut nama Maharaja Wisnu dari Wangsa Sailendra sebagai penguasa Sriwijaya.
Hubungan senasib antara Jawa dan Sumatra berubah menjadi permusuhan ketika Wangsa Sanjaya bangkit kembali memerintah Mataram. Menurut teori de Casparis, sekitar tahun 850–an, Rakai Pikatan berhasil menyingkirkan seorang anggota Wangsa Sailendra bernama Balaputradewa putra Samaragrawira. Balaputradewa kemudian menjadi raja Sriwijaya di mana ia tetap menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu, Mataram dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara.
Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.

Peristiwa Mahapralaya
Mahapralaya adalah peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan berita dalam prasasti Pucangan. Tahun terjadinya peristiwa tersebut tidak dapat dibaca dengan jelas sehingga muncul dua versi pendapat. Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006, sedangkan yang lainnya menyebut tahun 1016.
Raja terakhir Medang adalah Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik Cina dari Dinasti Song mencatat telah beberapa kali  Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya sejak ia naik takhta tahun 991. Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin memanas saat itu.
Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.
Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah campuran Jawa–Bali yang lolos dari Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan Kerajaan Medang. Pangeran itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya adalah keturunan Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan.

Peninggalan sejarah
Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kerajaan Mataram/Medang juga membangun banyak candi, baik itu yang bercorak Hindu maupun Buddha. Temuan Wonoboyo berupa artifak emas yang ditemukan tahun 1990 di Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah; menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Mataram.
Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, dan tentu saja yang paling kolosal adalah Candi Borobudur. Candi megah yang dibangun oleh Sailendrawangsa ini telah ditetapkan UNESCO (PBB) sebagai salah satu warisan budaya dunia.

sumber: Wikipedia
              www.indonesiakuno.com

Thursday, June 30, 2011

Sejarah Singkat Kerajaan Majapahit




SEJAK akhir abad ke-19, setelah penemuan naskah Pararaton yang menguraikan keluarga raja-raja Majapahit, para ahli sejarah mulai menyusun sejarah kerajaan Hindu terbesar di Jawa itu secara ilmiah, sebab data Pararaton ternyata banyak yang sesuai dengan prasasti-prasasti dari zaman Majapahit. Sayangnya, uraian Pararaton mengenai keluarga raja-raja Majapahit sering terlampau singkat, kurang lengkap, dan kadang-kadang membingungkan, sehingga para ilmuwan harus jeli dalam membaca dan menafsirkannya. Itulah sebabnya sampai awal abad ke-21 sekarang rekonstruksi sejarah Majapahit belumlah tuntas. Tulisan ini khusus membahas hubungan kekeluargaan dinasti Majapahit dan diharapkan dapat menjembatani perbedaan penafsiran naskah Pararaton di kalangan para ahli sejarah.

Terlebih dahulu kita catat daftar raja-raja Majapahit. Raja pertama, Kertarajasa Jayawardhana Dyah Sanggramawijaya yang dikenal dengan Raden Wijaya (1294–1309), digantikan putranya, Jayanagara Raden Kalagemet (1309-1328). Jayanagara digantikan adik wanitanya, Tribhuwana Wijayottunggadewi Dyah Gitarja (1328–1350). Lalu tahta kerajaan diwarisi putra Tribhuwana, Rajasanagara Dyah Hayam Wuruk (1350–1389). Hayam Wuruk digantikan keponakan dan menantunya, Wikramawardhana Hyang Wisesa (1389–1429). Setelah itu naik tahta putri Wikramawardhana, Prabhu Stri Dyah Suhita (1429–1447). Selanjutnya Suhita digantikan adiknya, Wijayaparakramawardhana Dyah Kertawijaya (1447–1451). Kemudian tahta Majapahit secara berturut-turut diwarisi oleh tiga orang putra Kertawijaya: Rajasawardhana Dyah Wijayakumara Sang Sinagara (1451–1453); Girisawardhana Dyah Suryawikrama Hyang Purwawisesa (1456–1466); serta Singawikramawardhana Dyah Suraprabhawa (1466–1478).
Majapahit tiga kali mengalami pertikaian tahta di antara keluarga kerajaan. Pertikaian pertama berlangsung 30 tahun (1376–1406) ketika kadaton wetan memisahkan diri dari pusat pemerintahan. Pertikaian kedua terjadi pada tahun 1453-1456 sehingga Majapahit tidak mempunyai raja selama tiga tahun. Pertikaian terakhir tahun 1468–1478 menyebabkan keruntuhan Majapahit.
Penafsiran data Pararaton harus didasari pemahaman terhadap konsep kosmogoni Siwa-Buddha yang menganggap suatu kerajaan sebagai perwujudan Gunung Mahameru tempat kediaman Bhatara Indra. Itulah sebabnya keluarga Majapahit menamakan diri mereka Girindrawangsa, dan berabad-abad sebelumnya keluarga Sriwijaya juga mengklaim sebagai Sailendrawangsa, yang sama-sama berarti ‘Keluarga Gunung Indra’. Pusat kerajaan Majapahit (di sekitar Mojokerto sekarang) dikelilingi daerah-daerah bawahan (mandala-mandala) yang meliputi delapan penjuru (lokapala), yaitu Kahuripan, Tumapel, Paguhan, Wengker, Daha, Lasem, Pajang, dan Kabalan. Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Dr.Boechari, While the kingdom is compared with Mount Meru and Indra’s heaven, the king is thought to be Indra on earth, and that the eight Lokapala are incorporated in his nature” (MIISI, V/1, 1973). Dua mandala utama, yaitu Kahuripan (Janggala, Jiwana) dan Daha (Kadiri, Panjalu), merupakan poros yang menyangga kestabilan sistem, dan hal ini sudah dibakukan sejak zaman raja Airlangga pada abad ke-11. Itulah sebabnya kombinasi wilwatikta-janggala-kadiri (Majapahit-Kahuripan-Daha) banyak dijumpai dalam prasasti-prasasti.
Sebagai kepala pemerintahan, raja atau ratu Majapahit bergelar Bhatara Prabhu (Bhre Prabhu) atau Sri Maharaja. Para anggota keluarga kerajaan diberi gelar Bhatara (Bhre) dari mandala tertentu, misalnya Bhre Kahuripan, Bhre Daha, Bhre Tumapel, dan sebagainya. (Gelar apanage semacam ini sekarang masih berlaku di Kerajaan Inggris: suami Ratu Elizabeth diberi gelar Duke of Edinburgh, sedangkan putra mereka bergelar Prince of Wales.) Sesuai dengan keseimbangan gender, gelar Bhre Tumapel, Bhre Paguhan dan Bhre Wengker dijabat oleh pria, sedangkan gelar Bhre Lasem, Bhre Pajang dan Bhre Kabalan jatah untuk wanita. Adapun gelar Bhre Kahuripan dan Bhre Daha, sebagai daerah poros (axis region), boleh disandang pria atau wanita asalkan hubungan kerabatnya dekat dengan sang prabhu. Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Bertram Johannes Otto Schrieke, Kahuripan and Daha were the regions assigned to the most highly placed members of the royal family” (Ruler and Realm in Early Java, 1957). Jika anggota keluarga kerajaan cukup banyak, mandala diperluas menurut kebutuhan, misalnya Bhre Mataram, Bhre Matahun, Bhre Wirabhumi, dan sebagainya.

PERIODE AWAL MAJAPAHIT (1294–1375)
Kertarajasa Jayawardhana Dyah Sanggramawijaya, yang naik tahta pada tahun 1294, beristri empat putri Kertanagara (raja terakhir Singasari), yaitu Tribhuwaneswari, Mahadewi, Jayendradewi, Rajapatni Gayatri. Kertarajasa juga beristri Dara Petak Sri Indreswari, putri dari Malayu. Dari Gayatri, Kertarajasa memperoleh dua putri: Bhre Kahuripan(I) Tribhuwana Wijayottunggadewi Dyah Gitarja dan Rajadewi Maharajasa Dyah Wiyat. Putri-putri Kertanagara yang lain tidak berketurunan. Dari Dara Petak, Kertarajasa berputra Bhre Daha(I) Jayanagara Raden Kalagemet, yang diakui sebagai putra permaisuri Tribhuwaneswari. Setelah Kertarajasa wafat tahun 1309, Jayanagara menjadi raja Majapahit, dan gelar Bhre Daha(II) disandang oleh Rajadewi.
Ketika Jayanagara wafat tanpa keturunan tahun 1328, Tribhuwana menjadi ratu Majapahit. Dia bersuami Bhre Tumapel(I) Kertawardhana Raden Cakradhara, dan memperoleh sepasang putra-putri: Bhre Kahuripan(II) Rajasanagara Dyah Hayam Wuruk dan Bhre Pajang(I) Rajasaduhiteswari Dyah Nartaja. Kertawardhana dari selir juga berputra Raden Sotor. Adapun Bhre Daha(II) Rajadewi bersuami Bhre Wengker(I) Wijayarajasa Raden Kudamerta, dan memperoleh putri Bhre Lasem(I) Rajasaduhita Indudewi. Wijayarajasa dari selir juga berputri Sri Sudewi Padukasori.
Pada tahun 1350 Hayam Wuruk menggantikan sang ibunda di atas tahta Majapahit, dan Tribhuwana kembali bergelar Bhre Kahuripan(I). Hayam Wuruk menikahi Sri Sudewi, dan berputri Bhre Kabalan(I)Bhre Paguhan(I) Singawardhana Raden Sumana, memperoleh satu putra dan dua putri: Bhre Mataram(I) Wikramawardhana, Bhre Wirabhumi(I) Nagarawardhani, dan Bhre Pawanawan Surawardhani atau Rajasawardhani. Adapun Bhre Lasem(I) Indudewi bersuami Bhre Matahun(I) Rajasawardhana Raden Larang. Oleh karena pasangan ini tidak berketurunan, mereka mengadopsi putra Hayam Wuruk dari selir. Kusumawardhani. Dari selir, Hayam Wuruk memperoleh seorang putra yang tidak jelas namanya. Bhre Pajang(I) Dyah Nartaja bersuami
Kemudian terjadilah pernikahan antar sepupu: Kusumawardhani bersuami Wikramawardhana; Nagarawardhani bersuami putra Hayam Wuruk dari selir; dan Surawardhani bersuami Bhre Pandansalas(I) Ranamanggala Raden Sumirat, putra Raden Sotor. Setelah Bhre Daha(II) Rajadewi dan Bhre Kahuripan(I) Tribhuwana wafat antara tahun 1372 dan 1375, terjadilah rotasi gelar: Indudewi menjadi Bhre Daha(III); Nagarawardhani menjadi Bhre Lasem(II), dan suaminya menyandang gelar Bhre Wirabhumi(II). Adapun gelar Bhre Kahuripan(III) paling layak diwarisi putra mahkota Wikramawardhana, meskipun hal ini tidak disebutkan dalam Pararaton.
Wikramawardhana dan Kusumawardhani memperoleh tiga putra dan satu putri: putra sulung Bhre Mataram(II) Rajasakusuma yang mewarisi gelar ayahnya, putra kedua yang tidak jelas namanya, putri Suhita, dan putra bungsu Kertawijaya. Ranamanggala dan Surawardhani memperoleh satu putra dan dua putri: Ratnapangkaja yang menjadi suami Suhita, putri sulung yang menjadi istri putra kedua Wikramawardhana, dan putri bungsu Jayeswari yang menjadi istri Kertawijaya. Bhre Wirabhumi(II) dan Nagarawardhani memperoleh putra Bhre Pakembangan yang wafat dalam ‘perburuan’ (ketika berburu di hutan ataukah ketika menjadi buronan politik?) serta tiga orang putri.

PERIODE KADATON WETAN (1376–1406)
Pertikaian tahta mulai terjadi ketika muncul kerajaan separatis yang dalam Pararaton disebut kadaton wetan (istana timur), untuk membedakannya dari kerajaan Majapahit yang disebut kadaton kulontumuli hana gunung anyar i saka 1298 (“lalu terjadi gunung baru pada 1298 Saka = 1376 Masehi”). Oleh karena ‘gunung’ melambangkan tahta kekuasaan, informasi ini mengisyaratkan munculnya kerajaan baru. (istana barat). Hal ini diungkapkan oleh Pararaton dengan kalimat
Kerajaan tandingan ini tercatat dalam kronik Cina Ming-shih (Sejarah Dinasti Ming). Kronik Ming-shih menerangkan dua rombongan utusan dari Jawa tahun 1377, yang diterjemahkan W.P.Groeneveldt sebagai berikut: “In this country there is a western and an eastern king. The latter is called Wu-lao-wang-chieh and the former Wu-lao-po-wu. Both of them sent envoys with tribute”. Para ahli sejarah tidak sulit mengenali tokoh kerajaan barat, Wu-lao-po-wu, sebagai ‘Bhatara Prabhu’, yaitu raja Hayam Wuruk. Akan tetapi baru pada tahun 1964 Prof.George Coedes mampu mengidentifikasi tokoh kerajaan timur, Wu-lao-wang-chieh, sebagai ‘Bhatara Wengker’.
Bhre Wengker pada zaman Hayam Wuruk adalah Wijayarajasa, suami Rajadewi bibi Hayam Wuruk. Wijayarajasa juga mertua Hayam Wuruk sebab merupakan ayah dari permaisuri Sri Sudewi. Dari kitab Nagarakretagama yang ditulis pujangga Prapanca tahun 1365 kita memperoleh gambaran bahwa Wijayarajasa memang mempunyai ambisi untuk berkuasa. Setelah Patih Gajah Mada wafat tahun 1364, lalu disusul oleh wafatnya Tribhuwana dan Rajadewi antara 1372 dan 1375, Wijayarajasa mewujudkan ambisinya sebab tokoh-tokoh yang diseganinya tidak ada lagi. Pada tahun 1376 dia memproklamasikan kadaton wetan yang lepas dari Majapahit. Tahun berikutnya Majapahit dan kadaton wetan sama-sama mengirimkan utusan kepada Dinasti Ming di Cina.
Di manakah letak kadaton wetan? Menurut Pararaton dan prasasti Biluluk, Wijayarajasa bergelar Bhatara Parameswara ring Pamotan (Yang Dipertuan di Pamotan). Oleh karena kata muwatnanggung, maka Pamotan (Pamuwatan) barangkali adalah Gunung Penanggungan di sebelah timur Mojokerto sekarang. Wijayarajasa agaknya sengaja memilih tempat itu menjadi pusat kerajaan sebagai pembenaran tindakan separatisnya. Daerah Penanggungan atau Pamotan merupakan tempat suci raja Airlangga, sehingga Wijayarajasa kiranya ingin menunjukkan bahwa pembentukan negara baru itu mengikuti tradisi Airlangga yang pernah membagi dua kerajaannya. bersinonim dengan
Adanya kadaton wetan menyebabkan keluarga Majapahit pecah menjadi dua kelompok. Sebagian besar tetap setia kepada Hayam Wuruk. Akan tetapi mereka yang berkerabat dengan Wijayarajasa terpaksa hijrah memihak kadaton wetan, yaitu Bhre Daha(III) Indudewi dengan suaminya Bhre Matahun(I) Raden Larang, dan anak angkat mereka Bhre Wirabhumi(II) dengan istrinya Bhre Lasem(II) Nagarawardhani, serta tiga orang putri Bhre Wirabhumi(II). Hayam Wuruk segan bertindak tegas menghadapi negara separatis itu sebab Wijayarajasa adalah mertuanya, Indudewi adalah sepupunya, dan Bhre Wirabhumi(II) adalah putranya dari selir. Selagi tokoh-tokoh senior masih hidup, kadaton kulonkadaton wetan saling menenggang rasa sehingga konfrontasi terbuka dapat dihindari. dan
Akan tetapi keadaan seperti itu tidaklah dapat dipertahankan setelah para tokoh senior meninggal dunia. Pada tahun 1386 Kertawardhana (ayah Hayam Wuruk) wafat. Dua tahun berikutnya, 1388, wafat pula secara berturut-turut permaisuri Sri Sudewi, Dyah Nartaja (adik Hayam Wuruk) dan suaminya Raden Sumana. Dua tokoh kadaton wetan, Raden Larang dan Wijayarajasa sendiri, juga wafat. Akhirnya mangkat pula raja Hayam Wuruk tahun 1389.

Wikramawardhana menjadi raja Majapahit dan kemudian dikenal dengan Hyang Wisesa, sedangkan tahta kadaton wetan diwarisi Bhre Wirabhumi(II). Gelar Bhre Kahuripan(IV) disandang Surawardhani, dan putra kedua Wikramawardhana digelari Bhre Tumapel(II). Suhita dan suaminya, Ratnapangkaja, masing-masing kiranya menjadi Bhre Pajang(II) dan Bhre Paguhan(II), meskipun tidak disebutkan dalam Pararaton. Wikramawardhana bertindak konfrontatif terhadap kadaton wetanSang Ahayu) dan Nagarawardhani disebut Bhre Lasem Yang Gemuk (Sang Alemu). dengan memberikan gelar Bhre Lasem (padahal sedang disandang adiknya, Nagarawardhani) kepada permaisurinya, Kusumawardhani. Dalam Pararaton, Kusumawardhani disebut Bhre Lasem Yang Cantik (
Putra mahkota Rajasakusuma wafat tahun 1399 dan bergelar anumerta Hyang Wekas ing Sukha. Tahun 1400 wafat pula Bhre Lasem(II) Nagarawardhani, Bhre Lasem(III) Kusumawardhani, Bhre Kahuripan(IV) Surawardhani, dan Bhre Pandansalas(I) Ranamanggala. Maka terjadilah regenerasi gelar bagi yang muda. Ratnapangkaja menjadi Bhre Kahuripan(V), dan adiknya, istri Bhre Tumapel(II), menjadi Bhre Lasem(IV). Gelar Bhre Pandansalas(II) disandang oleh Raden Jagulu, adik Ranamanggala. Dua orang putra Bhre Tumapel(II) dengan Bhre Lasem(IV) masing-masing diberi gelar Bhre Wengker(II) dan Bhre Paguhan(III). Satu-satunya tokoh senior yang masih hidup saat itu adalah Bhre Daha(III) Indudewi yang mendampingi anak angkatnya, Bhre Wirabhumi(II), di kadaton wetan.
Konfrontasi antara Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi(II) akhirnya menimbulkan Perang ParegregKadaton wetan mengalami kekalahan dengan gugurnya Bhre Wirabhumi(II), sehingga Majapahit utuh kembali setelah pecah 30 tahun. Untuk menghilangkan benih balas dendam, tiga putri Bhre Wirabhumi(II) masing-masing dinikahi oleh Wikramawardhana, Bhre Tumapel(II) putra Wikramawardhana dan Bhre Wengker(II) cucu Wikramawardhana. Ketiga putri itu berturut-turut diberi gelar Bhre Mataram(III), Bhre Lasem(V), dan Bhre Matahun(II). Sungguh suatu pernikahan yang sangat unik: tiga putri bersaudara bersuamikan orang-orang tiga generasi! tahun 1405–1406.

PERIODE PASCA PAREGREG (1406–1453)
Seusai Perang Paregreg, Bhre Daha(III) Indudewi diboyong pulang oleh Wikramawardhana ke Majapahit dan dihormati sebagai sesepuh. Saudara sepupu Hayam Wuruk ini wafat tahun 1415 bersama-sama Bhre Mataram(III) dan Bhre Matahun(II). Gelar Bhre Daha(IV) paling layak diwarisi oleh Suhita, dan adiknya, Kertawijaya, kiranya menjadi Bhre Mataram(IV). Istri Kertawijaya, Jayeswari, pantas menjadi Bhre Kabalan(II).
Bhre Tumapel(II) dan putranya, Bhre Wengker(II), wafat tahun 1427. Dua tahun kemudian, 1429, mangkat pula raja Wikramawardhana, dan Suhita menjadi ratu Majapahit. Kertawijaya menjadi Bhre Tumapel(III), sedangkan gelar Bhre Daha(V) diwarisi Jayeswari. Sekitar tahun 1430 wafat pula Bhre Lasem(IV), Bhre Lasem(V), dan Bhre Pandansalas(II). Oleh karena Suhita tidak berketurunan, maka yang mewarnai sejarah Majapahit selanjutnya adalah keturunan Bhre Tumapel(II) dan Bhre Tumapel(III) Kertawijaya.
Bhre Tumapel(II) dengan istrinya Bhre Lasem(V) mempunyai tiga putri dan satu putra: Bhre JagaragaBhre Tanjungpura Manggalawardhani Dyah Suragharini, Bhre Pajang(III) Dyah Sureswari, dan putra bungsu Bhre Keling(I). Bhre Jagaraga dinikahi Ratnapangkaja, sedangkan Bhre Tanjungpura dan Bhre Pajang(III) menjadi istri Bhre Paguhan(III). Bhre Keling(I) beristri Bhre Kembangjenar Rajanandaneswari Dyah Sudharmini, putri Bhre Pandansalas(II) Raden Jagulu. Menurut Pararaton, semua pernikahan di atas tidak membuahkan keturunan. Wijayendudewi Dyah Wijayaduhita,
Bhre Tumapel(III) Wijayaparakramawardhana Dyah Kertawijaya dengan istrinya Bhre Daha(V) Jayawardhani Dyah Jayeswari mempunyai tiga putra, yaitu Bhre Pamotan(I) Rajasawardhana Dyah Wijayakumara, Bhre Wengker(III) Girisawardhana Dyah Suryawikrama, dan Bhre Pandansalas(III) Singawikramawardhana Dyah Suraprabhawa. Setelah Bhre Paguhan(III) wafat tahun 1440, Rajasawardhana menikahi Bhre Tanjungpura Manggalawardhani. Girisawardhana beristri Bhre Kabalan(III) Mahamahisi Dyah Sawitri, putri Bhre Wengker(II) dengan Bhre Matahun(II). Suraprabhawa menikahi Bhre Singapura Rajasawardhanidewi Dyah Sripura, putri Bhre Paguhan(III) dari selir.
Bhre Kahuripan(V) dan Bhre Keling(I) wafat tahun 1446. Rajasawardhana menjadi Bhre Keling(II). Setelah ratu Suhita mangkat tahun 1447, Kertawijaya mewarisi tahta Majapahit, dan gelar Bhre Tumapel(IV) disandang Suraprabhawa. Rajasawardhana yang kini putra mahkota kembali bertukar gelar menjadi Bhre Kahuripan(VI) dan kelak dikenal dengan julukan Sang Sinagara. Daftar keluarga Majapahit pada masa Kertawijaya tercantum lengkap dalam prasasti Waringin Pitu tahun 1447.
Pararaton menyebutkan bahwa putra-putra Sang Sinagara ada empat orang. Dalam prasasti Waringin Pitu tercantum nama-nama putra pertama dan kedua, yaitu Bhre Matahun(III) Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya serta Bhre Keling(III) Girindrawardhana Dyah Wijayakarana. Putra ketiga dan keempat belum lahir pada tahun 1447. Menurut prasasti Waringin Pitu, Samarawijaya dan Wijayakarana sejak kecil dijodohkan masing-masing dengan Bhre Wirabhumi(III) Rajasawardhanendudewi Dyah Pureswari dan Bhre Kalinggapura Kamalawarnadewi Dyah Sudayita, yaitu putri-putri Bhre Wengker(III) Girisawardhana dengan Bhre Kabalan(III) Sawitri.
Bhre Kabalan(III) Sawitri dan Bhre Pajang(III) Sureswari wafat tahun 1450. Setahun kemudian mangkat pula raja Kertawijaya, dan Rajasawardhana naik tahta Majapahit tahun 1451. Gelar Bhre Kahuripan(VII) diwarisi putra mahkota Samarawijaya, sedangkan adiknya, Wijayakarana, menjadi Bhre Mataram(V). Kiranya saat itu putra ketiga dan keempat Rajasawardhana sudah lahir, yang masing-masing menyandang Bhre Pamotan(II) dan Bhre Kertabhumi. Nama-nama dua orang yang terakhir ini tercantum dalam prasasti Trailokyapuri, yaitu Singawardhana Dyah Wijayakusuma dan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.

PERIODE AKHIR MAJAPAHIT (1453–1478)
Ketika Rajasawardhana Sang Sinagara mangkat tahun 1453, terjadilah pertikaian tahta antara Bhre Kahuripan(VII) Samarawijaya dan Bhre Wengker(III) Girisawardhana. Kemelut paman dan keponakan ini menyebabkan Majapahit tiga tahun tidak mempunyai raja (telung tahun tan hana prabhu, kata Pararaton). Kevakuman tahta ini berakhir tahun 1456 tatkala Girisawardhana menjadi raja dengan gelar Hyang Purwawisesa. Kiranya Samarawijaya yang masih muda mengalah terhadap paman yang sekaligus mertuanya, dan rela menjadi putra mahkota untuk kedua kalinya. Peranan ibu suri Bhre Daha(V) Jayeswari tentu sangat besar dalam proses rekonsiliasi tersebut.
Bhre Daha(V) Jayeswari wafat tahun 1464, dan gelar Bhre Daha(VI) disandang Manggalawardhani. Ketika Bhre Jagaraga Wijayaduhita dan raja Girisawardhana wafat pula tahun 1466, sengketa kekuasaan muncul kembali.
Adik bungsu Sang Sinagara, Bhre Tumapel(IV) Suraprabhawa, ternyata berambisi juga menjadi raja. Dia menduduki tahta Majapahit. Sudah tentu para keponakannya sakit hati. Baru saja dua tahun Suraprabhawa bertahta (prabhu rong tahun), yaitu tahun 1468, keempat putra Sang Sinagara memperlihatkan sikap oposisi dengan ‘pergi dari istana’ (tumuli sah saking kadaton putranira sang sinagara), yaitu Bhre Kahuripan(VII) Samarawijaya, Bhre Mataram(V) Wijayakarana, Bhre Pamotan(II) Wijayakusuma, dan si bungsu Bhre Kertabhumi Ranawijaya. Mereka menyingkir ke Jinggan (antara Mojokerto dan Surabaya sekarang), menyusun kekuatan untuk merebut hak mereka atas tahta. Sejak itu Samarawijaya disebut Sang Munggwing Jinggan (Yang Berdiam di Jinggan).
Pada tahun 1478 Sang Munggwing Jinggan Samarawijaya dan adik-adiknya memimpin pasukan dalam penyerbuan ke ibukota Majapahit, yang menyebabkan runtuhnya kerajaan Hindu terbesar di Jawa itu. Pararaton menutup uraian sejarah Majapahit dengan kalimat kapernah paman, bhre prabhu sang mokta ring kadaton i saka 1400 (“paman mereka, sang raja, mangkat di istana tahun 1478”).
Ungkapan mokta ring kadaton (‘mangkat di istana’) mengisyaratkan bahwa Suraprabhawa mati terbunuh. Jika kematiannya wajar, tentu dipakai kalimat yang berbau surga, misalnya mokta ring wisnubhawana, mokta ring somyalaya, dan semacamnya. Raja Jayanagara yang terbunuh tahun 1328 diungkapkan Pararaton dengan istilah mokta ring pagulingan (‘mangkat di tempat tidur’). Kiranya Suraprabhawa bernasib serupa. Raja terakhir Majapahit ini gugur di istana ketika bertempur melawan para keponakannya.
Kemenangan putra-putra Sang Sinagara ternyata harus ditebus dengan ikut gugurnya Sang Munggwing Jinggan Samarawijaya. Prasasti Petak menyebutkan kadigwijayanira sang munggwing jinggan duk ayun-ayunan yudha lawaning majapahit (“kemenangan Sang Munggwing Jinggan yang naik-jatuh berperang melawan Majapahit”). Ungkapan ayun-ayunan (‘naik-jatuh’) berarti meraih kemenangan tetapi gugur dalam pertempuran (won the war but lost the battle).

KERAJAAN KELING DAN DAHA (1478–1527)
Sesudah Majapahit runtuh tahun 1478, tiga orang adik Sang Munggwing Jinggan, yaitu Wijayakarana, Wijayakusuma, dan Ranawijaya, mendirikan kerajaan baru di Keling (antara Mojokerto dan Kediri sekarang). Mereka bertiga secara berturut-turut menjadi raja dengan gelar Sri Maharaja Bhatara Keling. Mula-mula Girindrawardhana Dyah Wijayakarana bertahta (1478–1486), dan setelah wafat berjuluk Sang Mokta ring Amertawisesalaya. Dia digantikan oleh Singawardhana Dyah Wijayakusuma yang memerintah mungkin hanya beberapa bulan, lalu mendadak wafat dan berjuluk Sang Mokta ring Mahalayabhawana. Akhirnya Girindrawardhana Dyah Ranawijaya menjadi raja (1486–1527), yang dikenal sebagai Bhatara Wijaya atau Brawijaya.
Ranawijaya mengeluarkan prasasti Petak dan Trailokyapuri tahun 1486. Prasasti Petak menceritakan kemenangan Sang Munggwing Jinggan melawan Majapahit. Prasasti Trailokyapuri menguraikan upacara sradha mengenang 12 tahun wafatnya Bhatara Daha Sang Mokta ring Indranibhawana, ibunda Ranawijaya (janda Sang Sinagara), yaitu Bhre Daha(VI) Manggalawardhani Dyah Suragharini yang wafat tahun 1474.
Pada tahun 1513, pengembara Portugis bernama Tome Pires mengunjungi Jawa Timur. Dia berdiam di Malaka dari 1512 sampai 1515 dan menuliskan kisah perjalanannya dalam buku Suma Oriental (Catatan Dunia Timur). Tome Pires mengatakan bahwa raja Jawa saat itu adalah Batara Vigiaya, dan raja sebelumnya adalah Batara Mataram, yang menggantikan ayahnya, Batara Sinagara. Informasi ini diperoleh Tome Pires dari Pate Vira (Adipati Wira), penguasa Tuban yang beragama Islam tetapi sangat setia kepada Batara Vigiaya.
Uraian Tome Pires bahwa Batara Mataram menjadi raja menggantikan Batara Sinagara jelas tidak benar. Sang Sinagara wafat tahun 1453, sedangkan Bhre Mataram Wijayakarana naik tahta tahun 1478 setelah dia dan saudara-saudaranya meruntuhkan Majapahit. Tetapi uraian Tome Pires mudah kita pahami, sebab dia memperoleh informasi dari pihak Ranawijaya. Putra-putra Sang Sinagara tentu beranggapan bahwa paman-paman mereka, Girisawardhana dan Suraprabhawa, ‘kurang sah’ menjadi raja.
Tome Pires mengatakan Batara Vigiaya bertahta di Daha. Ini berarti antara tahun 1486 dan 1513 (sekitar tahun 1500) Ranawijaya memindahkan pusat kerajaan dari Keling ke Daha. Menurut Tome Pires, Batara Vigiaya hanyalah raja boneka, sebab kekuasaan negara dipegang mertuanya, Guste Pate Amdura. Persahabatan Guste Pate dengan Portugis membuat marah Pate Rodin Senior, raja Demak yang merupakan musuh Portugis. Pate Rodin Senior mempunyai putra Rodin Junior dan mempunyai menantu Pate Unus yang pernah menyerang benteng Portugis di Malaka. Yang disebut Pate Rodin Senior, Pate Unus, dan Rodin Junior oleh Tome Pires tiada lain adalah sultan-sultan Demak: Raden Patah (1481–1518), Pangeran Sabrang Lor Adipati Yunus (1518–1521), dan Raden Trenggana (1521–1546). Kesultanan Demak menaklukkan Daha tahun 1527 pada masa pemerintahan Trenggana, sehingga berakhirlah zaman kerajaan Hindu di Jawa Timur.

ISLAM DAN MAJAPAHIT
Masyarakat Islam sudah eksis di Jawa Timur sejak abad ke-11, dua abad sebelum berdirinya Majapahit. Di Leran, dekat Gresik, ditemukan nisan bertuliskan huruf Arab yang menerangkan wafatnya Fatimah binti Maimun tanggal 7 Rajab 475 Hijri (2 Desember 1082). Beberapa istilah bahasa Arab sudah dipakai dalam Kakawin Ghatotkacasraya gubahan Mpu Panuluh, pujangga kerajaan Panjalu abad ke-12. Pemakaman kuno di Tralaya, lokasi bekas keraton Majapahit, dipenuhi batu nisan yang bertuliskan huruf Arab, dan ada yang dilengkapi kutipan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Tiga buah makam berasal dari zaman raja Hayam Wuruk, masing-masing bertarikh 1290, 1298 dan 1302 Saka (1368, 1376 dan 1380 Masehi). Hal ini merupakan bukti nyata bahwa agama Islam sudah dianut oleh sebagian penduduk ibukota Majapahit pada masa kerajaan Hindu itu mencapai kejayaannya.
Sebuah makam bertarikh 1370 Saka (1448) dikenal masyarakat sebagai makam Putri Cempa yang beragama Islam. Mungkin ini ucapan lidah Jawa untuk “Putri Jeumpa” yang menyatakan asal putri itu dari Aceh Serambi Mekkah. Menurut Babad Tanah Jawi, Putri Cempa adalah permaisuri Brawijaya. Istilah ‘Brawijaya’ (singkatan dari Bhatara Wijaya) harus kita cermati, sebab ada tujuh orang keluarga Majapahit yang namanya memakai kata wijaya, yaitu Sanggramawijaya (raja pertama), Kertawijaya (raja ke-7), Wijayakumara (Sang Sinagara, raja ke-8), serta putra-putra Sang Sinagara: Samarawijaya, Wijayakarana, Wijayakusuma, dan Ranawijaya. Jika cerita tentang Putri Cempa ini benar, barangkali dia adalah selir Kertawijaya (1447–1451), sebab sang permaisuri adalah Bhre Daha(V) Jayeswari.
Babad Tanah Jawi yang ditulis pada masa kesultanan Mataram menerangkan tujuh raja Majapahit yang bergelar Brawijaya, dan tahta Brawijaya terakhir diruntuhkan putranya sendiri, Raden Patah, adipati Demak yang beragama Islam. Mitos yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa itu jelas menyesatkan, sebab Majapahit runtuh tahun 1478 lantaran pertikaian sesama keluarga kerajaan itu sendiri. Justru kevakuman kekuasaan akibat runtuhnya Majapahit dimanfaatkan oleh Demak untuk tampil sebagai kesultanan Islam pertama di Jawa.
Kerajaan Hindu yang ditaklukkan oleh Demak bukanlah Majapahit, melainkan Kerajaan Daha, yaitu tahta Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (Brawijaya terakhir) yang tidak pernah menjadi raja Majapahit. Justru Majapahit runtuh oleh serangan Ranawijaya dan kakak-kakaknya. Dengan demikian, Babad Tanah Jawi ternyata mencampuradukkan dua fakta sejarah yang berlainan: (1) runtuhnya Majapahit tahun 1478 akibat serangan putra-putra Sang Sinagara, serta (2) runtuhnya tahta Brawijaya di Daha tahun 1527 akibat penaklukan oleh Demak. [NIA KURNIA SHOLIHAT IRFAN]


PUSTAKA (disusun menurut tahun terbit) :
Jan Laurens Andries Brandes, “Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit”, bewerkt door Nicolaas Johannes Krom, Verhandelingen 62, Bataviaasch Genootschap, Batavia, 1920.


Paul Ravaisse, “L’inscription coufique de Leran a Java”, Tijdschrift 65, Bataviaasch Genootschap, Batavia, 1925.


Martha A. Muusses, “Singhawikramawarddhana”, Feestbundel, Volume 2, Bataviaasch Genootschap (150 jarig bestaan 1778–1928), Batavia, 1929.


Nicolaas Johannes Krom, Hindoe-Javaansche Geschiedenis, tweede herziene druk, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1931.


Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the East, Volume 1-2, translated from Portuguese, The Hakluyt Society, London, 1944.


Louis-Charles Damais, “Etudes d’Epigraphie Indonesienne: III. Liste de principales inscriptions datees de l’Indonesie”, Bulletin de l’Ecole Francaise d’Extreme-Orient, tome 46, Paris, 1952.


Louis-Charles Damais, “Etudes Javanaises: I. Les tombes musulmanes datees de Tralaya”, Bulletin de l’Ecole Francaise d’Extreme-Orient, tome 48, Paris, 1957.


Bertram Johannes Otto Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Part Two: Ruler and Realm in Early Java, W. van Hoeve, The Hague & Bandung, 1957.


W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, reprint, Bhratara, Djakarta, 1960.


Theodoor Gautier Thomas Pigeaud, Java in the Fourteenth Century: A Study in Culture History: The Nagarakertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A.D., Volume 4, Martinus Nijhoff, The Hague, 1962.


Muhammad Yamin, Tatanegara Madjapahit, Parwa 1-2, Jajasan Prapantja, Djakarta, 1962.


George Coedes, The Indianized States of Southeast Asia, University of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1968.


Andries Teeuw et al, Siwaratrikalpa of Mpu Tanakung, Bibliotheca Indonesica 3, Martinus Nijhoff, The Hague, 1969.


Merle Calvin Ricklefs, “A Consideration of Three Versions of the Babad Tanah Djawi, with Excerpts on the Fall of Madjapahit”, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, Vol.35(2), London, 1972.


Boechari, “Epigraphic Evidence on Kingship in Ancient Java”, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid V(1), Bhratara, Jakarta, 1973.


Jacobus Noorduyn, “The Eastern Kings in Majapahit”, Bijdragen 131, Koninklijk Instituut, Leiden, 1975.
Jacobus Noorduyn, “Majapahit in the Fifteenth Century”, Bijdragen 134, Koninklijk Instituut, Leiden, 1978.


Hasan Djafar, Girindrawarddhana: Beberapa Masalah Majapahit Akhir, Yayasan Nalanda, Jakarta, 1978.


Slametmulyana, Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit, Yayasan Idayu, Jakarta, 1983.


Source:
Harian Umum Sinar Harapan, 13 Februari 1985.
http://irfananshory.blogspot.com/


dikutip dari :
http://maulanusantara.wordpress.com/

daftar nama-nama Kelurahan / Desa dan Kecamatan beserta nomor kode pos (postcode / zip code) pada Kota/Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur (Jatim)

Berikut ini adalah daftar nama-nama Kelurahan / Desa dan Kecamatan beserta nomor kode pos (postcode / zip code) pada Kota/Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur (Jatim), Republik Indonesia.


KOTA MALANG

1. Kecamatan Blimbing
   - Kelurahan/Desa Kesatrian (Kodepos : 65121)
   - Kelurahan/Desa Polehan (Kodepos : 65121)
   - Kelurahan/Desa Purwantoro (Kodepos : 65122)
   - Kelurahan/Desa Bunulrejo (Kodepos : 65123)
   - Kelurahan/Desa Pandanwangi (Kodepos : 65124)
   - Kelurahan/Desa Blimbing (Kodepos : 65125)
   - Kelurahan/Desa Purwodadi (Kodepos : 65125)
   - Kelurahan/Desa Arjosari (Kodepos : 65126)
   - Kelurahan/Desa Balearjosari (Kodepos : 65126)
   - Kelurahan/Desa Polowijen (Kodepos : 65126)
   - Kelurahan/Desa Jodipan (Kodepos : 65137)
2. Kecamatan Kedungkandang
   - Kelurahan/Desa Arjowinangun (Kodepos : 65132)
   - Kelurahan/Desa Tlogowaru (Kodepos : 65133)
   - Kelurahan/Desa Mergosono (Kodepos : 65134)
   - Kelurahan/Desa Bumiayu (Kodepos : 65135)
   - Kelurahan/Desa Wonokoyo (Kodepos : 65135)
   - Kelurahan/Desa Buring (Kodepos : 65136)
   - Kelurahan/Desa Kotalama (Kodepos : 65136)
   - Kelurahan/Desa Kedungkandang (Kodepos : 65137)
   - Kelurahan/Desa Cemorokandang (Kodepos : 65138)
   - Kelurahan/Desa Lesanpuro (Kodepos : 65138)
   - Kelurahan/Desa Madyopuro (Kodepos : 65139)
   - Kelurahan/Desa Sawojajar (Kodepos : 65139)
3. Kecamatan Klojen
   - Kelurahan/Desa Klojen (Kodepos : 65111)
   - Kelurahan/Desa Rampal Celaket (Kodepos : 65111)
   - Kelurahan/Desa Samaan (Kodepos : 65112)
   - Kelurahan/Desa Penanggungan (Kodepos : 65113)
   - Kelurahan/Desa Gadingkasri (Kodepos : 65115)
   - Kelurahan/Desa Bareng (Kodepos : 65116)
   - Kelurahan/Desa Kasin (Kodepos : 65117)
   - Kelurahan/Desa Sukoharjo (Kodepos : 65118)
   - Kelurahan/Desa Kauman (Kodepos : 65119)
   - Kelurahan/Desa Kidul Dalem (Kodepos : 65119)
   - Kelurahan/Desa Oro Oro Dowo (Kodepos : 65119)
4. Kecamatan Lowokwaru
   - Kelurahan/Desa Jatimulyo (Kodepos : 65141)
   - Kelurahan/Desa Lowokwaru (Kodepos : 65141)
   - Kelurahan/Desa Tulusrejo (Kodepos : 65141)
   - Kelurahan/Desa Mojolangu (Kodepos : 65142)
   - Kelurahan/Desa Tunjungsekar (Kodepos : 65142)
   - Kelurahan/Desa Tasikmadu (Kodepos : 65143)
   - Kelurahan/Desa Tunggulwulung (Kodepos : 65143)
   - Kelurahan/Desa Dinoyo (Kodepos : 65144)
   - Kelurahan/Desa Merjosari (Kodepos : 65144)
   - Kelurahan/Desa Tlogomas (Kodepos : 65144)
   - Kelurahan/Desa Ketawanggede (Kodepos : 65145)
   - Kelurahan/Desa Sumbersari (Kodepos : 65145)
5. Kecamatan Sukun
   - Kelurahan/Desa Bandulan (Kodepos : 65146)
   - Kelurahan/Desa Pisang Candi (Kodepos : 65146)
   - Kelurahan/Desa Mulyorejo (Kodepos : 65147)
   - Kelurahan/Desa Sukun (Kodepos : 65147)
   - Kelurahan/Desa Tanjungrejo (Kodepos : 65147)
   - Kelurahan/Desa Bakalan Krajan (Kodepos : 65148)
   - Kelurahan/Desa Bandungrejosari (Kodepos : 65148)
   - Kelurahan/Desa Ciptomulyo (Kodepos : 65148)
   - Kelurahan/Desa Gadang (Kodepos : 65149)
   - Kelurahan/Desa Karang Besuki (Kodepos : 65149)
   - Kelurahan/Desa Kebonsari (Kodepos : 65149)

B. KABUPATEN MALANG
1. Kecamatan Ampelgading
    - Kelurahan/Desa Argoyuwono (Kodepos : 65183)
    - Kelurahan/Desa Lebakharjo (Kodepos : 65183)
    - Kelurahan/Desa Mulyoasri (Kodepos : 65183)
    - Kelurahan/Desa Purwoharjo (Kodepos : 65183)
    - Kelurahan/Desa Sidorenggo (Kodepos : 65183)
    - Kelurahan/Desa Simojayan (Kodepos : 65183)
    - Kelurahan/Desa Sonowangi (Kodepos : 65183)
    - Kelurahan/Desa Tamanasri (Kodepos : 65183)
    - Kelurahan/Desa Tamansari (Kodepos : 65183)
    - Kelurahan/Desa Tawangagung (Kodepos : 65183)
    - Kelurahan/Desa Tirtomarto (Kodepos : 65183)
   - Kelurahan/Desa Tirtomoyo (Kodepos : 65183)
    - Kelurahan/Desa Wirotaman (Kodepos : 65183)
2. Kecamatan Bantur
    - Kelurahan/Desa Bandungrejo (Kodepos : 65179)
    - Kelurahan/Desa Bantur (Kodepos : 65179)
    - Kelurahan/Desa Karangsari (Kodepos : 65179)
    - Kelurahan/Desa Pringgodani (Kodepos : 65179)
    - Kelurahan/Desa Rejosari (Kodepos : 65179)
    - Kelurahan/Desa Rejoyoso (Kodepos : 65179)
    - Kelurahan/Desa Srigonco (Kodepos : 65179)
    - Kelurahan/Desa Sumberbening (Kodepos : 65179)
    - Kelurahan/Desa Wonokerto (Kodepos : 65179)
    - Kelurahan/Desa Wonorejo (Kodepos : 65179)
3. Kecamatan Bululawang
    - Kelurahan/Desa Bakalan (Kodepos : 65171)
    - Kelurahan/Desa Bululawang (Kodepos : 65171)
    - Kelurahan/Desa Gading (Kodepos : 65171)
    - Kelurahan/Desa Kasembon (Kodepos : 65171)
    - Kelurahan/Desa Kasri (Kodepos : 65171)
    - Kelurahan/Desa Krebet (Kodepos : 65171)
    - Kelurahan/Desa Krebet Senggrong (Kodepos : 65171)
    - Kelurahan/Desa Kuwolu (Kodepos : 65171)
    - Kelurahan/Desa Lumbangsari (Kodepos : 65171)
    - Kelurahan/Desa Pringu (Kodepos : 65171)
    - Kelurahan/Desa Sempalwadak (Kodepos : 65171)
    - Kelurahan/Desa Sudimoro (Kodepos : 65171)
    - Kelurahan/Desa Sukonolo (Kodepos : 65171)
    - Kelurahan/Desa Wandanpuro (Kodepos : 65171)
4. Kecamatan Dampit
    - Kelurahan/Desa Amadanom (Kodepos : 65181)
    - Kelurahan/Desa Baturetno (Kodepos : 65181)
    - Kelurahan/Desa Bumirejo (Kodepos : 65181)
    - Kelurahan/Desa Dampit (Kodepos : 65181)
    - Kelurahan/Desa Jambangan (Kodepos : 65181)
    - Kelurahan/Desa Majangtengah (Kodepos : 65181)
    - Kelurahan/Desa Pamotan (Kodepos : 65181)
    - Kelurahan/Desa Pojok (Kodepos : 65181)
    - Kelurahan/Desa Rembun (Kodepos : 65181)
    - Kelurahan/Desa Srimulyo (Kodepos : 65181)
    - Kelurahan/Desa Sukodono (Kodepos : 65181)
    - Kelurahan/Desa Sumbersuko (Kodepos : 65181)
5. Kecamatan Dau
    - Kelurahan/Desa Gadingkulon (Kodepos : 65151)
    - Kelurahan/Desa Kalisongo (Kodepos : 65151)
    - Kelurahan/Desa Karangwidoro (Kodepos : 65151)
    - Kelurahan/Desa Kucur (Kodepos : 65151)
    - Kelurahan/Desa Landungsari (Kodepos : 65151)
    - Kelurahan/Desa Mulyoagung (Kodepos : 65151)
    - Kelurahan/Desa Petung Sewu (Kodepos : 65151)
    - Kelurahan/Desa Selorejo (Kodepos : 65151)
    - Kelurahan/Desa Sumbersekar (Kodepos : 65151)
    - Kelurahan/Desa Tegalweru (Kodepos : 65151)
6. Kecamatan Donomulyo
    - Kelurahan/Desa Banjarjo (Kodepos : 65167)
    - Kelurahan/Desa Donomulyo (Kodepos : 65167)
    - Kelurahan/Desa Kedungsalam (Kodepos : 65167)
    - Kelurahan/Desa Mentaraman (Kodepos : 65167)
    - Kelurahan/Desa Purwodadi (Kodepos : 65167)
    - Kelurahan/Desa Purworejo (Kodepos : 65167)
    - Kelurahan/Desa Sumberoto (Kodepos : 65167)
    - Kelurahan/Desa Tempursari (Kodepos : 65167)
    - Kelurahan/Desa Tlogosari (Kodepos : 65167)
    - Kelurahan/Desa Tulungrejo (Kodepos : 65167)
7. Kecamatan Gedangan
    - Kelurahan/Desa Gajahrejo (Kodepos : 65178)
    - Kelurahan/Desa Gedangan (Kodepos : 65178)
    - Kelurahan/Desa Girimulyo (Kodepos : 65178)
    - Kelurahan/Desa Segaran (Kodepos : 65178)
    - Kelurahan/Desa Sidodadi (Kodepos : 65178)
    - Kelurahan/Desa Sindurejo (Kodepos : 65178)
    - Kelurahan/Desa Sumberejo (Kodepos : 65178)
    - Kelurahan/Desa Tumpakrejo (Kodepos : 65178)
8. Kecamatan Gondanglegi
    - Kelurahan/Desa Bulupitu (Kodepos : 65174)
    - Kelurahan/Desa Ganjaran (Kodepos : 65174)
    - Kelurahan/Desa Gondanglegi Kulon (Kodepos : 65174)
    - Kelurahan/Desa Gondanglegi Wetan (Kodepos : 65174)
    - Kelurahan/Desa Ketawang (Kodepos : 65174)
    - Kelurahan/Desa Panggungharjo (Kodepos : 65174)
   - Kelurahan/Desa Putat Kidul (Kodepos : 65174)
    - Kelurahan/Desa Putat Lor (Kodepos : 65174)
    - Kelurahan/Desa Putukrejo (Kodepos : 65174)
    - Kelurahan/Desa Sepanjang (Kodepos : 65174)
    - Kelurahan/Desa Sukorejo (Kodepos : 65174)
    - Kelurahan/Desa Sukosari (Kodepos : 65174)
    - Kelurahan/Desa Sumberjaya (Kodepos : 65174)
    - Kelurahan/Desa Urek Urek (Kodepos : 65174)
9. Kecamatan Jabung
    - Kelurahan/Desa Argosari (Kodepos : 65155)
    - Kelurahan/Desa Gading Kembar (Kodepos : 65155)
    - Kelurahan/Desa Gunung Jati (Kodepos : 65155)
    - Kelurahan/Desa Jabung (Kodepos : 65155)
    - Kelurahan/Desa Kemantren (Kodepos : 65155)
    - Kelurahan/Desa Kemiri (Kodepos : 65155)
    - Kelurahan/Desa Kenongo (Kodepos : 65155)
    - Kelurahan/Desa Ngadirejo (Kodepos : 65155)
    - Kelurahan/Desa Pandansari Lor (Kodepos : 65155)
    - Kelurahan/Desa Sidomulyo (Kodepos : 65155)
    - Kelurahan/Desa Sidorejo (Kodepos : 65155)
    - Kelurahan/Desa Slamparejo (Kodepos : 65155)
    - Kelurahan/Desa Sukolilo (Kodepos : 65155)
    - Kelurahan/Desa Sukopuro (Kodepos : 65155)
    - Kelurahan/Desa Taji (Kodepos : 65155)
10. Kecamatan Kalipare
    - Kelurahan/Desa Arjosari (Kodepos : 65166)
    - Kelurahan/Desa Arjowilangun (Kodepos : 65166)
    - Kelurahan/Desa Kaliasri (Kodepos : 65166)
    - Kelurahan/Desa Kalipare (Kodepos : 65166)
    - Kelurahan/Desa Kalirejo (Kodepos : 65166)
    - Kelurahan/Desa Putukrejo (Kodepos : 65166)
    - Kelurahan/Desa Sukowilangun (Kodepos : 65166)
    - Kelurahan/Desa Sumberpetung (Kodepos : 65166)
    - Kelurahan/Desa Tumpakrejo (Kodepos : 65166)
11. Kecamatan Karangploso
    - Kelurahan/Desa Ampeldento (Kodepos : 65152)
    - Kelurahan/Desa Bocek (Kodepos : 65152)
    - Kelurahan/Desa Donowarih (Kodepos : 65152)
    - Kelurahan/Desa Girimoyo (Kodepos : 65152)
    - Kelurahan/Desa Kepuharjo (Kodepos : 65152)
    - Kelurahan/Desa Ngenep (Kodepos : 65152)
    - Kelurahan/Desa Ngijo (Kodepos : 65152)
    - Kelurahan/Desa Tawangargo (Kodepos : 65152)
    - Kelurahan/Desa Tegalgondo (Kodepos : 65152)
12. Kecamatan Kasembon
    - Kelurahan/Desa Bayem (Kodepos : 65393)
    - Kelurahan/Desa Kasembon (Kodepos : 65393)
    - Kelurahan/Desa Pait (Kodepos : 65393)
    - Kelurahan/Desa Pondok Agung (Kodepos : 65393)
    - Kelurahan/Desa Sukosari (Kodepos : 65393)
    - Kelurahan/Desa Wonoagung (Kodepos : 65393)
13. Kecamatan Kepanjen
    - Kelurahan/Desa Ardirejo (Kodepos : 65163)
    - Kelurahan/Desa Cepokomulyo (Kodepos : 65163)
    - Kelurahan/Desa Curung Rejo (Kodepos : 65163)
    - Kelurahan/Desa Dilem (Kodepos : 65163)
    - Kelurahan/Desa Jatirejoyoso (Kodepos : 65163)
    - Kelurahan/Desa Jenggolo (Kodepos : 65163)
    - Kelurahan/Desa Kedungpedaringan (Kodepos : 65163)
    - Kelurahan/Desa Kemiri (Kodepos : 65163)
    - Kelurahan/Desa Kepanjen (Kodepos : 65163)
    - Kelurahan/Desa Mangunrejo (Kodepos : 65163)
    - Kelurahan/Desa Mojosari (Kodepos : 65163)
    - Kelurahan/Desa Ngadilangkung (Kodepos : 65163)
    - Kelurahan/Desa Panggungrejo (Kodepos : 65163)
    - Kelurahan/Desa Penarukan (Kodepos : 65163)
    - Kelurahan/Desa Sengguruh (Kodepos : 65163)
    - Kelurahan/Desa Sukoraharjo (Kodepos : 65163)
    - Kelurahan/Desa Talangagung (Kodepos : 65163)
    - Kelurahan/Desa Tegalsari (Kodepos : 65163)
14. Kecamatan Kromengan
    - Kelurahan/Desa Jambuwer (Kodepos : 65165)
    - Kelurahan/Desa Jatikerto (Kodepos : 65165)
    - Kelurahan/Desa Karangrejo (Kodepos : 65165)
    - Kelurahan/Desa Kromengan (Kodepos : 65165)
    - Kelurahan/Desa Ngadirejo (Kodepos : 65165)
    - Kelurahan/Desa Peniwen (Kodepos : 65165)
    - Kelurahan/Desa Slorok (Kodepos : 65165)
15. Kecamatan Lawang
    - Kelurahan/Desa Lawang (Kodepos : 65211)
    - Kelurahan/Desa Turirejo (Kodepos : 65213)
    - Kelurahan/Desa Ketindan (Kodepos : 65214)
    - Kelurahan/Desa Bedali (Kodepos : 65215)
    - Kelurahan/Desa Kalirejo (Kodepos : 65216)
    - Kelurahan/Desa Mulyoarjo (Kodepos : 65216)
    - Kelurahan/Desa Sidodadi (Kodepos : 65216)
    - Kelurahan/Desa Sidoluhur (Kodepos : 65216)
    - Kelurahan/Desa Srigading (Kodepos : 65216)
    - Kelurahan/Desa Sumber Ngepoh (Kodepos : 65216)
    - Kelurahan/Desa Sumber Porong (Kodepos : 65216)
    - Kelurahan/Desa Wonorejo (Kodepos : 65216)
16. Kecamatan Ngajung / Ngajum
    - Kelurahan/Desa Babadan (Kodepos : 65164)
    - Kelurahan/Desa Balesari (Kodepos : 65164)
    - Kelurahan/Desa Banjarsari (Kodepos : 65164)
    - Kelurahan/Desa Kesamben (Kodepos : 65164)
    - Kelurahan/Desa Kranggan (Kodepos : 65164)
    - Kelurahan/Desa Maguan (Kodepos : 65164)
    - Kelurahan/Desa Ngajum (Kodepos : 65164)
    - Kelurahan/Desa Ngasem (Kodepos : 65164)
    - Kelurahan/Desa Palaan (Kodepos : 65164)
17. Kecamatan Ngantang
    - Kelurahan/Desa Banjarejo (Kodepos : 65392)
    - Kelurahan/Desa Banturejo (Kodepos : 65392)
    - Kelurahan/Desa Jombok (Kodepos : 65392)
    - Kelurahan/Desa Kaumrejo (Kodepos : 65392)
    - Kelurahan/Desa Mulyorejo (Kodepos : 65392)
    - Kelurahan/Desa Ngantru (Kodepos : 65392)
    - Kelurahan/Desa Pagersari (Kodepos : 65392)
    - Kelurahan/Desa Pandansari (Kodepos : 65392)
    - Kelurahan/Desa Purworejo (Kodepos : 65392)
    - Kelurahan/Desa Sidodadi (Kodepos : 65392)
    - Kelurahan/Desa Sumberagung (Kodepos : 65392)
    - Kelurahan/Desa Tulungrejo (Kodepos : 65392)
    - Kelurahan/Desa Waturejo (Kodepos : 65392)
18. Kecamatan Pagak
    - Kelurahan/Desa Gampingan (Kodepos : 65168)
    - Kelurahan/Desa Pagak (Kodepos : 65168)
    - Kelurahan/Desa Pandanrejo (Kodepos : 65168)
    - Kelurahan/Desa Sempol (Kodepos : 65168)
    - Kelurahan/Desa Sumberkerto (Kodepos : 65168)
    - Kelurahan/Desa Sumbermanjing Kulon (Kodepos : 65168)
    - Kelurahan/Desa Sumberrejo (Kodepos : 65168)
    - Kelurahan/Desa Tlogorejo (Kodepos : 65168)
19. Kecamatan Pagelaran
    - Kelurahan/Desa Balearjo (Kodepos : 65174)
    - Kelurahan/Desa Banjarejo (Kodepos : 65174)
    - Kelurahan/Desa Brongkal (Kodepos : 65174)
    - Kelurahan/Desa Clumprit (Kodepos : 65174)
    - Kelurahan/Desa Kademangan (Kodepos : 65174)
    - Kelurahan/Desa Kanigoro (Kodepos : 65174)
    - Kelurahan/Desa Karangsuko (Kodepos : 65174)
    - Kelurahan/Desa Pagelaran (Kodepos : 65174)
    - Kelurahan/Desa Sidorejo (Kodepos : 65174)
    - Kelurahan/Desa Suwaru (Kodepos : 65174)
20. Kecamatan Pakis
    - Kelurahan/Desa Ampeldento (Kodepos : 65154)
    - Kelurahan/Desa Asrikaton (Kodepos : 65154)
    - Kelurahan/Desa Banjarrejo (Kodepos : 65154)
    - Kelurahan/Desa Bunutwetan (Kodepos : 65154)
    - Kelurahan/Desa Kedungrejo (Kodepos : 65154)
    - Kelurahan/Desa Mangliawan (Kodepos : 65154)
    - Kelurahan/Desa Pakisjajar (Kodepos : 65154)
    - Kelurahan/Desa Pakiskembar (Kodepos : 65154)
    - Kelurahan/Desa Pucang Songo (Kodepos : 65154)
    - Kelurahan/Desa Saptorenggo (Kodepos : 65154)
    - Kelurahan/Desa Sekarpuro (Kodepos : 65154)
    - Kelurahan/Desa Sukoanyar (Kodepos : 65154)
    - Kelurahan/Desa Sumberkradenan (Kodepos : 65154)
    - Kelurahan/Desa Sumberpasir (Kodepos : 65154)
    - Kelurahan/Desa Tirtomoyo (Kodepos : 65154)
21. Kecamatan Pakisaji
    - Kelurahan/Desa Genengan (Kodepos : 65162)
    - Kelurahan/Desa Glanggang (Kodepos : 65162)
    - Kelurahan/Desa Jatisari (Kodepos : 65162)
    - Kelurahan/Desa Karangduren (Kodepos : 65162)
    - Kelurahan/Desa Karangpandan (Kodepos : 65162)
    - Kelurahan/Desa Kebonagung (Kodepos : 65162)
    - Kelurahan/Desa Kendalpayak (Kodepos : 65162)
    - Kelurahan/Desa Pakisaji (Kodepos : 65162)
    - Kelurahan/Desa Permanu (Kodepos : 65162)
    - Kelurahan/Desa Sutojayan (Kodepos : 65162)
    - Kelurahan/Desa Wadung (Kodepos : 65162)
    - Kelurahan/Desa Wonokerso (Kodepos : 65162)
22. Kecamatan Poncokusumo
    - Kelurahan/Desa Argosuko (Kodepos : 65157)
    - Kelurahan/Desa Belung (Kodepos : 65157)
    - Kelurahan/Desa Dawuhan (Kodepos : 65157)
    - Kelurahan/Desa Gubukklakah (Kodepos : 65157)
    - Kelurahan/Desa Jambesari (Kodepos : 65157)
    - Kelurahan/Desa Karanganyar (Kodepos : 65157)
    - Kelurahan/Desa Karangnongko (Kodepos : 65157)
    - Kelurahan/Desa Ngadas (Kodepos : 65157)
    - Kelurahan/Desa Ngadireso (Kodepos : 65157)
    - Kelurahan/Desa Ngebruk (Kodepos : 65157)
    - Kelurahan/Desa Pajaran (Kodepos : 65157)
    - Kelurahan/Desa Pandansari (Kodepos : 65157)
    - Kelurahan/Desa Poncokusumo (Kodepos : 65157)
    - Kelurahan/Desa Sumberejo (Kodepos : 65157)
    - Kelurahan/Desa Wonomulyo (Kodepos : 65157)
    - Kelurahan/Desa Wonorejo (Kodepos : 65157)
    - Kelurahan/Desa Wringinanom (Kodepos : 65157)
23. Kecamatan Pujon
    - Kelurahan/Desa Bendosari (Kodepos : 65391)
    - Kelurahan/Desa Madiredo (Kodepos : 65391)
    - Kelurahan/Desa Ngabab (Kodepos : 65391)
    - Kelurahan/Desa Ngroto (Kodepos : 65391)
    - Kelurahan/Desa Pandesari (Kodepos : 65391)
    - Kelurahan/Desa Pujon Kidul (Kodepos : 65391)
    - Kelurahan/Desa Pujon Lor (Kodepos : 65391)
    - Kelurahan/Desa Sukomulyo (Kodepos : 65391)
    - Kelurahan/Desa Tawangsari (Kodepos : 65391)
    - Kelurahan/Desa Wiyurejo (Kodepos : 65391)
24. Kecamatan Singosari
    - Kelurahan/Desa Ardimulyo (Kodepos : 65153)
    - Kelurahan/Desa Banjararum (Kodepos : 65153)
    - Kelurahan/Desa Baturetno (Kodepos : 65153)
    - Kelurahan/Desa Candirenggo (Kodepos : 65153)
    - Kelurahan/Desa Dengkol (Kodepos : 65153)
    - Kelurahan/Desa Gunungrejo (Kodepos : 65153)
    - Kelurahan/Desa Klampok (Kodepos : 65153)
    - Kelurahan/Desa Langlang (Kodepos : 65153)
    - Kelurahan/Desa Losari (Kodepos : 65153)
    - Kelurahan/Desa Pagentan (Kodepos : 65153)
    - Kelurahan/Desa Purwoasri (Kodepos : 65153)
    - Kelurahan/Desa Randuagung (Kodepos : 65153)
    - Kelurahan/Desa Tamanharjo (Kodepos : 65153)
    - Kelurahan/Desa Toyomarto (Kodepos : 65153)
    - Kelurahan/Desa Tunjungtirto (Kodepos : 65153)
    - Kelurahan/Desa Watugede (Kodepos : 65153)
    - Kelurahan/Desa Wonorejo (Kodepos : 65153)
25. Kecamatan Sumbermanjing Wetan
    - Kelurahan/Desa Argotirto (Kodepos : 65176)
    - Kelurahan/Desa Druju (Kodepos : 65176)
    - Kelurahan/Desa Harjokuncaran (Kodepos : 65176)
    - Kelurahan/Desa Kedungbanteng (Kodepos : 65176)
    - Kelurahan/Desa Klepu (Kodepos : 65176)
    - Kelurahan/Desa Ringinkembar (Kodepos : 65176)
    - Kelurahan/Desa Ringinsari (Kodepos : 65176)
    - Kelurahan/Desa Sekarbanyu (Kodepos : 65176)
    - Kelurahan/Desa Sidoasri (Kodepos : 65176)
    - Kelurahan/Desa Sitiarjo (Kodepos : 65176)
    - Kelurahan/Desa Sumberagung (Kodepos : 65176)
    - Kelurahan/Desa Sumbermanjing Wetan (Kodepos : 65176)
    - Kelurahan/Desa Tambak Asri (Kodepos : 65176)
    - Kelurahan/Desa Tambakrejo (Kodepos : 65176)
    - Kelurahan/Desa Tegalrejo (Kodepos : 65176)
26. Kecamatan Sumberpucung
    - Kelurahan/Desa Jatiguwi (Kodepos : 65165)
    - Kelurahan/Desa Karangkates (Kodepos : 65165)
    - Kelurahan/Desa Ngebruk (Kodepos : 65165)
    - Kelurahan/Desa Sambigede (Kodepos : 65165)
    - Kelurahan/Desa Senggreng (Kodepos : 65165)
    - Kelurahan/Desa Sumberpucung (Kodepos : 65165)
    - Kelurahan/Desa Ternyang (Kodepos : 65165)
27. Kecamatan Tajinan
    - Kelurahan/Desa Gunungronggo (Kodepos : 65172)
    - Kelurahan/Desa Gunungsari (Kodepos : 65172)
    - Kelurahan/Desa Jambearjo (Kodepos : 65172)
    - Kelurahan/Desa Jatisari (Kodepos : 65172)
    - Kelurahan/Desa Ngawonggo (Kodepos : 65172)
    - Kelurahan/Desa Pandanmulyo (Kodepos : 65172)
    - Kelurahan/Desa Purwosekar (Kodepos : 65172)
    - Kelurahan/Desa Randugading (Kodepos : 65172)
    - Kelurahan/Desa Sumbersuko (Kodepos : 65172)
    - Kelurahan/Desa Tajinan (Kodepos : 65172)
    - Kelurahan/Desa Tambakasri (Kodepos : 65172)
    - Kelurahan/Desa Tangkilsari (Kodepos : 65172)
28. Kecamatan Tirtoyudo
    - Kelurahan/Desa Gadungsari (Kodepos : 65182)
    - Kelurahan/Desa Jogomulyan (Kodepos : 65182)
    - Kelurahan/Desa Kepatihan (Kodepos : 65182)
    - Kelurahan/Desa Pujiharjo (Kodepos : 65182)
    - Kelurahan/Desa Purwodadi (Kodepos : 65182)
    - Kelurahan/Desa Sukorejo (Kodepos : 65182)
    - Kelurahan/Desa Sumbertangkil (Kodepos : 65182)
    - Kelurahan/Desa Tamankuncaran (Kodepos : 65182)
    - Kelurahan/Desa Tamansatriyan (Kodepos : 65182)
    - Kelurahan/Desa Tirtoyudo (Kodepos : 65182)
    - Kelurahan/Desa Tlogosari (Kodepos : 65182)
    - Kelurahan/Desa Wonoagung (Kodepos : 65182)
    - Kelurahan/Desa Ampelgading (Kodepos : 65183)
29. Kecamatan Tumpang
    - Kelurahan/Desa Benjor (Kodepos : 65156)
    - Kelurahan/Desa Bokor (Kodepos : 65156)
    - Kelurahan/Desa Duwet (Kodepos : 65156)
    - Kelurahan/Desa Duwet Krajan (Kodepos : 65156)
    - Kelurahan/Desa Jeru (Kodepos : 65156)
    - Kelurahan/Desa Kambingan (Kodepos : 65156)
    - Kelurahan/Desa Kidal (Kodepos : 65156)
    - Kelurahan/Desa Malangsuko (Kodepos : 65156)
    - Kelurahan/Desa Ngingit (Kodepos : 65156)
    - Kelurahan/Desa Pandanajeng (Kodepos : 65156)
    - Kelurahan/Desa Pulungdowo (Kodepos : 65156)
    - Kelurahan/Desa Slamet (Kodepos : 65156)
    - Kelurahan/Desa Tulusbesar (Kodepos : 65156)
    - Kelurahan/Desa Tumpang (Kodepos : 65156)
    - Kelurahan/Desa Wringinsongo (Kodepos : 65156)
30. Kecamatan Turen
    - Kelurahan/Desa Gedog Kulon (Kodepos : 65175)
    - Kelurahan/Desa Gedog Wetan (Kodepos : 65175)
    - Kelurahan/Desa Jeru (Kodepos : 65175)
    - Kelurahan/Desa Kedok (Kodepos : 65175)
    - Kelurahan/Desa Kemulan (Kodepos : 65175)
    - Kelurahan/Desa Pagedangan (Kodepos : 65175)
    - Kelurahan/Desa Sanankerto (Kodepos : 65175)
    - Kelurahan/Desa Sananrejo (Kodepos : 65175)
    - Kelurahan/Desa Sawahan (Kodepos : 65175)
    - Kelurahan/Desa Sedayu (Kodepos : 65175)
    - Kelurahan/Desa Talangsuko (Kodepos : 65175)
    - Kelurahan/Desa Talok (Kodepos : 65175)
    - Kelurahan/Desa Tanggung (Kodepos : 65175)
    - Kelurahan/Desa Tawangrejeni (Kodepos : 65175)
    - Kelurahan/Desa Tumpukrenteng (Kodepos : 65175)
    - Kelurahan/Desa Turen (Kodepos : 65175)
    - Kelurahan/Desa Undaan (Kodepos : 65175)
31. Kecamatan Wagir
    - Kelurahan/Desa Dalisodo (Kodepos : 65158)
    - Kelurahan/Desa Gondowangi (Kodepos : 65158)
    - Kelurahan/Desa Jedong (Kodepos : 65158)
    - Kelurahan/Desa Mendalanwangi (Kodepos : 65158)
    - Kelurahan/Desa Pandanlandung (Kodepos : 65158)
    - Kelurahan/Desa Pandanrejo (Kodepos : 65158)
    - Kelurahan/Desa Parangargo (Kodepos : 65158)
    - Kelurahan/Desa Petungsewu (Kodepos : 65158)
    - Kelurahan/Desa Sidorahayu (Kodepos : 65158)
    - Kelurahan/Desa Sitirejo (Kodepos : 65158)
    - Kelurahan/Desa Sukodadi (Kodepos : 65158)
    - Kelurahan/Desa Sumbersuko (Kodepos : 65158)
32. Kecamatan Wajak
     - Kelurahan/Desa Bambang (Kodepos : 65173)
     - Kelurahan/Desa Blayu (Kodepos : 65173)
     - Kelurahan/Desa Bringin (Kodepos : 65173)
     - Kelurahan/Desa Codo (Kodepos : 65173)
     - Kelurahan/Desa Dadapan (Kodepos : 65173)
     - Kelurahan/Desa Kidangbang (Kodepos : 65173)
     - Kelurahan/Desa Ngembal (Kodepos : 65173)
     - Kelurahan/Desa Patokpicis (Kodepos : 65173)
     - Kelurahan/Desa Sukoanyar (Kodepos : 65173)
     - Kelurahan/Desa Sukolilo (Kodepos : 65173)
     - Kelurahan/Desa Sumberputih (Kodepos : 65173)
     - Kelurahan/Desa Wajak (Kodepos : 65173)
     - Kelurahan/Desa Wonoayu (Kodepos : 65173)
33. Kecamatan Wonosari
      - Kelurahan/Desa Bangelan (Kodepos : 65164)
     - Kelurahan/Desa Kebobang (Kodepos : 65164)
     - Kelurahan/Desa Kluwut (Kodepos : 65164)
     - Kelurahan/Desa Plandi (Kodepos : 65164)
     - Kelurahan/Desa Plaosan (Kodepos : 65164)
     - Kelurahan/Desa Sumber Tempur (Kodepos : 65164)
     - Kelurahan/Desa Sumberdem (Kodepos : 65164)
     - Kelurahan/Desa Wonosari (Kodepos : 65164)

sumber :
http://organisasi.org/

Sekelumit Sejarah Pelabuhan Internasional Panarukan, Jawa Timur

Panarukan merupakan pelabuhan yang strategis karena terletak di sebelah Pantai Utara Jawa Timur dan sebagai salah satu bandar kuna telah mempermainkan peranannya sejak berabad-abad yang lampau. Pada masa Kerajaan Majapahit Panarukan sangat terkenal sebagai kota pelabuhan di ujung timur Pulau Jawa. Selain diketahui bahwa Hayam Wuruk pernah mengunjungi Panarukan pada tahun 1359 Masehi. Panarukan mempunyai kedudukan lebih penting karena terletak pada tepi jalan perdagangan yang lebih ramai. Ini mungkin menjadi alasan mengapa raja dan petinggi-petinggi Kerajaan Majapahit sering singgah di Panarukan.

Panarukan saat ini merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Situbondo Propinsi Jawa Timur. Secara geografis Kabupaten Situbondo terletak di Pantai utara Jawa Timur bagian timur dengan posisi diantara 7? 35' - 7? 44'LS dan 113? 30' - 114? 42'BT.

Letak Kabupaten Situbondo, di sebelah Utara berbatasan dengan Selat Madura, sebelah Timur berbatasan dengan Selat Bali, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso dan Banyuwangi, serta sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo. Luas wilayah Kabupaten Situbondo adalah 1.638,50 Km?. Hampir keseluruhan terletak di pesisir pantai dari Barat ke Timur, bentuknya memanjang kurang lebih 140 km.

Panarukan dahulu merupakan bagian dari Keresidenan Besuki. Pada mulanya nama Kabupaten Situbondo adalah "Kabupaten Panarukan" dengan ibukota Situbondo. Pada masa pemerintahan Belanda oleh Gubernur Jendral Daendels (? tahun 1808-1811 M) membangun jalan dengan kerja paksa sepanjang pantai utara Pulau Jawa yang dikenal dengan sebutan "Jalan Anyer - Panarukan" atau lebih dikenal lagi dengan "Jalan Daendels" atau juga "Jalan Pos".

Panarukan berkembang dengan pesat karena surplus wilayah belakang yang merupakan penghasil ekspor, seperti tembakau, kopi dan tebu. Dengan berkembangnya Panarukan yang begitu pesat, sehingga pada akhirnya pusat pemerintahan berpindah ke Kabupaten Panarukan dengan Raden Tumenggung Aryo Soeryo Amijoyo (1858 - 1872) sebagai Bupati Pertama.

Pada masa pemerintahan Bupati Achmad Tahir (? tahun 1972 M) Kabupaten Panarukan kemudian berganti nama menjadi Kabupaten Situbondo, dengan ibukota tetap di Situbondo, berdasarkan peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28/1972 tentang Perubahan Nama dan Pemindahan Tempat Kedudukan pemerintah daerah.

Kawasan pelabuhan Panarukan berada di Pedukuhan Pesisir Kilensari Kecamatan Panarukan. Jarak dari pusat kota Situbondo ke lokasi pelabuhan Panarukan kurang lebih 8 km ke arah barat. Lokasi pelabuhan terletak di pinggir laut dan dekat dengan jalan raya sehinggga dapat dijangkau dengan mudah.

Sejak abad XVI Panarukan sudah berfungsi sebagai salah satu kota pelabuhan terkemuka di Jawa Timur. Fungsi pelabuhan Panarukan semakin tampak yakni pada sekitar abad XIX tatkala daerah Jember dan Bondowoso dijadikan sebagai sentra area penanaman cash crop production, khususnya tanaman tembakau, kopi, tebu dan produk-produk perkebunan yang lain. Di pelabuhan Panarukan inilah tempat untuk menimbun, menyimpan dan mengangkut hasil perkebunan ke luar negeri.

Pelabuhan Panarukan didirikan oleh salah seorang Ondemer terkemuka di kawasan Besuki yakni George Birnie pada tahun 1890-an dengan nama Maactschappij Panaroekan. Pelabuhan Panarukan ini pada saat sekarang kondisinya memprihatinkan, karena fungsi pelabuhan dialihkan ke Probolinggo dan Banyuwangi, sehingga banyak tinggalan arkeologis di pelabuhan Panarukan yang dibongkar seperti gudang induk, kantor Djakarta Llyod dan gudang-gudang yang lainnya. Bangunan yang tersisa berupa dermaga kuno, gudang-gudang dan mercusuar. Pada masa dahulu terdapat "tanggang lanjang". Yakni tempat rel trem atau kereta kecil yang menjorok ke laut. Fungsi rel trem ini untuk mengangkut barang dari gudang penyimpanan ke perahu-perahu sebelum diangkut ke luar negeri oleh kapal besar. Bangunan ini panjangnya mencapai 550 M dan lebar 11 M. Bangunan ini terbuat dari bahan beton untuk bagian bawah, sedangkan bagian atas terbuat dari kayu. Pada bagian tengah terdapat rel besi tempat jalan trem pangangkut barang.

Selain itu di pinggir pantai terdapat bangunan menara atau mercu suar yang berfungsi sebagai sinyal atau tanda pelayaran. Letaknya di tepi pantai kawasan pelabuhan. Mercu suar tua ini hingga sekarang masih ada, dibuat dari kontruksi besi. Adapun mercu suar itu adalah sebagai tanda kedudukan pelabuhan Panarukan. Tinggi menara ini sekitar 50 M dengan lebar 8 M. Untuk menyinari menara tersebut pada jaman dahulu dipergunakan karbit namun sekarang menggunakan lampu listirk. Di sebelah kanan menara terdapat bekas bangunan kolonial yang berupa perkantoran dan menjadi gedung induk Maasctschappij Panaroekan yang terbuat dari batu bata. Menurut seorang informan dahulu bangunan ini sangat megah berlantai tiga, namun pada saat sekarang bangunan itu sudah tidak ada lagi. Di sebelah kanan dan kiri bangunan induk ini terdapat puluhan gudang tempat penimbunan barang hasil perkebunan sebelum dikirim ke luar negeri. Gudang-gudang ini terbuat dari bahan tembok. Pada bagian bawahnya tidak diberi lantai, namun hanya berlantai bambu. Ukuran gudang-gudang tersebut sangat luas mencapai ratusan meter persegi. Pada masa Belanda dibangun rel kereta api dari stasiun sampai pelabuhan, bahkan di sebelah kanan dermaga dulunya ada rel sampai ujung dermaga. Setelah pelabuhan Panarukan mengalami kemunduran, rel tersebut dicabut, bahkan sampai ke stasiun.

Di pelabuhan Panarukan juga dibangun beberapa galangan atau dok-dok terapung, yaitu tempat untuk memperbaiki kapal. Untuk memuat dan membongkar muatan kapal-kapal merapat ke kade, yaitu suatu pelataran luas, lengkap dengan gudang, alat-alat derek, bahkan rel-rel untuk lori.

Pelabuhan Panarukan mempunyai beberapa gudang, dibagi menjadi dua jenis. Pertama, gudang lini 1 terdiri dari (1) Gudang A ; 1.105 m2, (2) Gudang B ; 867 m2, (3) Gudang C : 2.494 m2, (4) Gudang D : 2.098 m2, (5) Gudang E ; 2.400 m2, (6) Gudang F ; 400 m2, (7) Gudang G ; 600 m2, (8) Gudang I ; 2.700 m2, (9) Gudang K ; 2.000 m2, (10) Gudang L ; 450 m2, (11) Gudang M ; 410 m2, (12) Gudang N ; 2.200 m2, (13) Gudang O ; 6.000 m2 (Anonim, 1981: 50).

Di Panarukan telah dibangun Jalan Raya Pos (Groote Postweg) pada tahun 1808 oleh Gebernur Jenderal Herman Willem Daendels Jalan Raya Pos yang berawal dari Anyer dan berakhir di Panarukan. Pada awalnya dibuat dengan tujuan untuk memperlancar usaha militer Belanda dalam peperangan menaklukkan daerah Blambangan (Banyuwangi). Pada perkembangan selanjutnya jalan yang memanjang dari arah barat ke timur di pesisir utara sangat bermanfaat bagi kelancaran lalu lintas pos, ekonomi dan transportasi.

Selain keberadaan jaringan jalan, keberadaan jalur kereta api di Panarukan turut memperlancar distribusi barang. Stasiun Kereta Api di Panarukan dibangun oleh Belanda sekitar tahun 1890-an. Bangunan ini pada saat sekarang masih utuh, tetapi pada tahun 2003 sudah tidak difungsikan lagi. Struktur bangunan Stasiun Kereta Api Panarukan terdiri atas tiga bagian pertama adalah tempat administrasi, bagian kedua merupakan ruang tunggu penumpang, sedangkan bagian ketiga merupakan tempat pemberangkatan dan pemberhentian kereta api. Jalur kereta api ini merupakan alat transportasi penting bagi pelabuhan Panarukan untuk mengangkut tembakau dari Jember dan Bondowoso ke pelabuhan di Panarukan.

Pada masa pendudukan Kolonial Belanda, di wilayah Kabupaten Panarukan terdapat 12 buah pabrik gula, yaitu Pabrik Gula (PG) De Maas, Assembagoes, Pandjie, Olean, Boedoean, Soekowidi, Prajekan, Tangarang, Bedadoeng, Semboro dan Goenoeng Sarie. Pada saat ini di wilayah Kabupaten Situbondo hanya terdapat enam pabrik gula, yaitu PG De Maas, Assembagoes, Pandjie, Olean, Boedoean dan Wringin Anom, yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Situbondo. Dari keenam pabrik gula tersebut empat pabrik gula masih terlihat wujudnya dan masih berproduksi hingga saat ini pabrik gula Assembagus, Olean, Pandjie, Wringin Anom, satu pabrik gula masih berdiri tetapi tidak berproduksi lagi adalah PG Demaas dan satu pabrik gula yang lain adalah PG Boedoean sudah tidak tampak lagi keberadaannya. Keseluruhan pabrik-pabrik tersebut merupakan produsen gula terbesar di Jawa Timur.

Di Panarukan terdapat Benteng VOC yang berada di wilayah Dusun Kilensari Timur, Desa Kilensari, Kecamatan Panarukan. Tinggalan arkeologis yang berupa bekas benteng ini berada di tepi barat Sungai Sampeyan, sekitar 500 m dari muara Sungai Sampeyan sehingga letaknya sangat strategis karena langsung berhadapan dengan laut Jawa. Selain itu benteng VOC ini juga melindungi pelabuhan Panarukan dari wilayah timur, yaitu dari wilayah sungai Sampeyan. Jarak dari pusat kota Situbondo ke lokasi benteng ini kurang lebih 8,5 Km ke arah barat. Untuk menuju lokasi benteng hanya bisa dijangkau dengan kendaraan sepeda motor. Saat ini lingkungan benteng berada di areal pemakaman penduduk dan lahan pertanian masyarakat.

Di Panarukan terdapat Tugu Portugis yang terletak di Kota Beddha, Desa Pelean, Kecamatan Panarukan diperkirakan peninggalan abad XVI yakni tatkala Potugis melakukan aktivitas perdagangan di wilayah Nusantara. Tugu Portugis terletak di sebelah timur Sungai Sampeyan. Jarak dari pusat kota Situbondo ke lokasi tugu ? 8 km ke arah barat. Lingkungan sekitar tugu ini sekarang berupa areal persawahan yang terletak di tepi desa.

Menurut masyarakat di sekitar Tugu Portugis ini banyak ditemukan bekas kerang-kerang besar yang menunjukan di sekitar tugu ini dulunya merupakan laut yang mengalami proses sedimentasi demikian cepat karena terjadi pendangkalan di Sungai Sampeyan. Oleh karenanya bisa jadi tinggalan Tugu Portugis ini hanya merupakan sebagaian kecil (paling atas dari bangunan). Melihat bangunannya, tugu ini berfungsi sebagai menara petunjuk bagi pelaut-pelaut, bahwa di tempat ini sebagai tempat pelabuhan.

Beberapa peninggalan arkeologis yang ada sekarang ini, menunjukkan bahwa Panarukan merupakan pelabuhan yang strategis dan kuat. Adanya berbagai fasilitas pendukung menunjukkan bahwa pelabuhan Panarukan sangat berkembang sebagai pelabuhan dagang, dengan adanya surplus dari wilayah belakang yang mendukung pelabuhan Panarukan berkembang. Dengan adanya fasilitas pendukung mengakibatkan pelabuhan Panarukan pada abad XIX dapat berfungsi maksimal, yaitu sebagai pelabuhan perdagangan dan ekspor. Selain itu keletakan pelabuhan yang tepat di tepi jalur pelayaran perdagangan melalui Laut Jawa dan Selat Madura yang dilalui pedagang-pedagang yang menuju ke Maluku sangat mendukung perkembangan pelabuhan untuk menjadi pelabuhan internasional.

Pelabuhan Panarukan letaknya sangat strategis, yaitu pertama terletak di teluk yang merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung suatu pelayaran. Kedua pelabuhan Panarukan terletak di jalur pelayaran dari barat menuju ke Maluku di bagian timur dan sebaliknya dari timur ke barat. Ketiga, adanya persediaan air bersih yang dibutuhkan kapal-kapal untuk perbekalan air minum dalam pelayaran jarak jauh. Keempat, wilayah belakang. Panarukan penghasil gula, kopi, tembakau, beras dan terbentang hutan jati yang kayunya berkualitas baik sebagai komoditi perdagangan dan bahan pembutan kapal.

Pelabuhan Panarukan erat hubungannya dengan aktivitas serta perkembangan PT. Djakarta Lloyd sub. Cab Panarukan (dahulu Panaroekan Maatscappij) yang didirikan pada tahun 1886. Maka sejak tahun pendirian tersebut pelabuhan Panarukan sudah dikenal pasaran dunia atau Eropa melalui ekspor komoditi gula, kopi, tembakau, karet dan jagung.

Untuk menunjang berlangsungnya kegiatan perdagangan maka di pelabuhan dilengkapi dengan berbagai sarana pendukung. Pemerintah kolonial mempersiapkan sarana dan prasarana pelabuhan antara lain dibangunnya dermaga, alat Derek (alat pengangkut), lori, gudang-gudang pemerintah dan milik swasta, serta gudang-gudang garam. Pemerintah juga menyediakan berbagai kebutuhan kapal, akomodasi, air bersih, tempat penumpukan untuk barang-barang impor-ekspor, parkiran, menyambung rel kereta api, dan menyediakan gerbong-gerbong, menyambung pipa air, bahan bakar, kabel-kebel listrik, menyediakan tongkang-tongkang, galangan kapal, tempat timbangan umum, penginapan, rumah sakit, dan lain-lain. Untuk mendukung kelancaran administrasi pelabuhan, pemerintah membangun kantor bernama Djakarta Lyiod. Dari persiapan tersebut tampak bahwa Panarukan berfungsi sebagai pelabuhan tempat menyalurkan barang-barang ke berbagai.

Di pelabuhan Panarukan terdapat lori yang menghubungkan stasiun kereta api sampai dermaga, kira-kira sepanjang ? 1 Km. Untuk angkutan tembakau dan kopi dari Jember dan Bondowoso lebih murah dan cepat dengan jasa kereta api sampai Panarukan.

Sejak awal abad XIX pihak pemerintah kolonial menerapkan kebijakan ekonomi the system of onterprice (sistem pembangunan perusahaan atau Industri) sebagai pengganti the cultivation system (sistem pengolahan bahan). Dampak kebijakan politik ekonomi itu menyebabkan banyak berdirinya perusahaan perkebunan. Salah satu daerah yang berkembang sebagai akibat kebijakan itu ialah daerah Bondowoso dan Jember. Kedua daerah ini terletak di bagian pedalaman yang cocok untuk penanaman komoditi ekspor. Namun pada waktu itu permasalahan utama yang dihadapi oleh perusahaan perkebunan ialah sulitnya mengangkut hasil perkebunan ke luar negeri, karena kedua derah tersebut jauh dari pelabuhan. Untuk mengatasi masalah tersebut George Bernie, pemilik NV LMOD (Landbouw Matscapay Out Djember) yakni salah seorang penguasa perkebunan terbesar di daerah ini berinisiatif untuk membangun pelabuhan di Panarukan dan jalur kereta api Jember-Bondowoso-Panarukan. Gagasan untuk membangun pelabuhan Panarukan terealisasi pada tahun 1897 dan jalur kereta api Jember-Bondowoso-Panarukan yang berjarak 98 km dibuka pada tanggal 1 Oktober 1987. Untuk itu Bernie bekerjasama dengan Stoomvaart Matscapien Nederlandsch dengan mendirikan Matscapay Panaroekan. Sejak berdirinya perusahaan pelabuhan ini semua hasil perkebunan yang berasal dari Bondowoso, Jember, Banyuwangi, dan Panarukan sendiri ditimbun di gudang-gudang di sekitar pelabuhan kemudian diangkut dari pelabuhan Panarukan ke luar negeri terutama ke Bremen (Jerman) dan Rooterdam (Belanda).

Penduduk kota Panarukan dan sekitarnya bersifat heterogen. Permukiman suku-suku bangsa Nusantara maupun bangsa lain tumbuh dan telah berkembang sejak zaman dulu. Pada saat sekarang yang ada hanya perkampungan Cina, yang berada di tanjung Pecinan. Namun demikian dalam komposisi nampak sekali bahwa penduduk pribumi yang terdiri dari orang Jawa dan Madura tetap merupakan mayoritas.


Ditulis oleh: Cholifa
Jurusan Arkeologi Universitas Udayana

sumber : http://arkeologi.web.id/
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...