Sejarah tentang Kabupaten Probolinggo, secara utuh diketemukan pada
sebuah babad, yaitu : “Babad Sembar ”. Babad Sembar merupakan salah satu
bagian dari Babad Blambangan , dan merupakan satu kesatuan di dalam Babad
Blambangan, yang terdiri dari 5 babad, masing-masing : 1) Babad Sembar, 2)
Babad Tawang Alun, 3) Babad Mas Sepuh, 4) Babad Bayu, dan 5) Babad
Notodiningratan. Babad Blambangan ini dijadikan sebuah studi kesusastraan
oleh : Winarsih Partaningrat Arifin (1995), dengan judul “Naskah dan
Dokumen Nusantara Seri X Babad Blambangan ”. Dalam Babad Sembar
(BS), data kesejarahan tentang : “ Jayalalana, dan Kabupaten Probolingga
”, akan terungkap dengan jelas. Babad Sembar ini ditulis oleh : “Kertajaya “,
cucu dari Kyai Jayalalana, anak Mas Bagus Banger, dengan Ibu Nyi Sugih
dari Pajarakan. Ketika itu menjadi patih Prabalingga pada saat pemerintahan
Jayanegara Bupati Prabalingga ke II. (1768-1804/5), sebagaimana
diterangkan dalam (BB: hal. 8 , dan Pupuh BS : 313, 314, 315 : hal 48).
Penyajian informasi kesejarahan selanjutnya akan dirujuk secara bersamaan
dengan catatan-catatan kepustakaan pendukung lainnya seperti : “ Babad
tanah Jawi, Laporan perjalanan Piegeaud (komentar Dr. Brandes), dan suratsurat
laporan penguasa Pantai Timur Jawa pada jaman Kumpeni-Voc, abad 17,
dengan informasi selengkapnya sebagai berikut :Sebutan “ Banger” sebagai cikal bakal nama Kabupaten “ Probolinggo”
a. Sebutan “ Banger “, di kenal sejak jaman Majapahit, ketika saat
kunjungan Prabu Hayam Wuruk ke Ujung Timur daerah Lumajang, tahun
1365. Dalam kunjungan itu singgah di beberapa desa di antaranya :
Hambulu Traya, Lumbang, Binor, Pajarakan, Sagara (Ranu segaran),
Gending, Borang, Baremi, Banger. Banger adalah nama sebuah sungai
kecil yang membelah kota Probolinggo bermuara ke laut, yang lebar
muaranya menjorok sampai ke jalan siaman sekarang, konon dapat
dilayari kapal-kapal besar. Dalam Buku Negara Kerta Gama, pupuh
XXXIV/4 tahun 1365 M), nama Banger tertulis dalam bahasa aslinya
sebagai berikut :
Arddälawas/nŗpati tansah añanti mäsa,
Solahnireŋ sakuwukuww atikaŋ linoyan,
Ryyankätmirän hawan i lohgaway iŋ sumandiŋ,
Boraŋ, baŋör, baŗmi tüt / hnu ńüny ańulwan
Very long was the Prince yhere, all the time awaiting the month,
All his doings in all the different manors, those were what he was
absorbed in,
At his departure he was taking his way trough Loh Gaway, trough
Sumanding
Borang, Banger, Baremi following the previous route westward
Agak lama berhenti seraya beristirahat, mengunjungi para penduduk
segenap desa, kemudian menuju Sungai gawe, Sumanding, Borang,
Banger, Baremi lurus ke barat
Nama “ Banger “ sebagai nama wilayah Kabupaten Prabalingga
dipakai sebagai kebanggaan nama daerah, sejak jaman Majapahit tahun
1365 hingga 1770 masa pemerintahan Bupati Jayanegara. Sehingga
setidak-tidaknya selama ± 405 tahun, nama “Banger“ selalu terpatri dan
mengisi dokumen-dokumen perjalanan sejarah Kabupaten Probolinggo
masa lalu, hingga melegenda sampai sekarang. Selama masa Kerajaan
Majapahit, hingga jaman penjajahan kumpeni VOC, sebelum Masa Bupati
Jayanegara, catatan sejarah tentunya mencatatnya sebagai nama “Banger”.
Sehingga dapat disimpulkan semasa pemerintahan Wangsa Djajalelana
selama kurun waktu empat sampai dengan lima keturunan (1679 – 1770),
nama “Banger” sebagai kebanggaan daerah yang mempunyai sungai kecil
mengalir di tengah kota sebagai sentral perniagaan ketika itu menjadi
daerah yang cukup diperhitungkan.
Dalam catatan sejarah laporan-laporan VOC penguasa daerah timur
selama itu selalu menyebutnya laporan dari “ Bupati Banger “. Pada jaman
Bupati Djajalelana I yang terprediksi memerintah tahun 1679 s/d 1697,
nama “ Banger “ diabadikan untuk nama putera pertamanya yaitu “Mas
Bagus Banger”. Selain itu pada saat itu pula sering terdengar nama “
Kanjeng Banger”, yang konon berselisih dengan Panembahan Meru dari
Tengger. Bukankah itu bisa diprediksikan nama ayah dari “Mas Bagus
Banger”, dan bukankah itu nama Djajalelana I sebagai “Bupati Banger” itu
sendiri. Dalam Babad Surapati bisa diketemukan sebagai berikut :
The first of these expedition was sent out on 25 pebruary, while
Surapati was still on his way east. It consist of 9,000 men under
Prince Puger and other leaders. The regents of the east coast were
told to join the action, and Djangrana I of Surabaja ( Tjakraningrat’s
son in – law ) and Djajalelana of Banger ( Prabalingga )
marched against Surapati, Surapati seemed trapped. (Babad
Surapati , hal :482)
Selain itu, dalam sebuah cacatan VOC, diketemukan, istilah Banger
sebagai berikut :
Paresidenan iku kaperang dadi Apdeling telu : 1. Probolinggo
Banger, 2. Kareksan, dan 3. Lumajang…….hing Probolingga hutawa
Banger nagara kalebu rame….. (T.A.F Van Der Valk , “ Beschrijving
Van Nederlandsch Indie Voorafgegaan Door Een Algemeend
Inleiding “, Batavia Landrukkerij, 1890)
Dalam laporan Gubernur Jendral yang lain, di tuliskan :
Akibat dari masih berkeliarannya kedua saudara dari Malang, yaitu :
Suro Negara, dan Jayanegara dengan saudara misan mereka Noto
Kusuma sekarang jumlah pengikut mereka telah berkurang dengan 5
sampai 6 orang, dan bahwa baru-baru ini dari daerah Lumajang,
Banger dan Surabaya ditemukan sejumlah perempuan…. dst. (Lap.
Vas Gub Jenderal kepada penguasa perusahaan perdagangan di
Hindia Timur 4 Okt 1770)
20 Oktober 1767 Laporan Gubernur Jendral PA. Vander Para kepada
Panglima tertinggi penguasa jenderal dari kumpeni Hindia Belanda :
…. Sebuah ekspidisi lagi ke Blambangan, terdiri dari beberapa
prajurit eropa, dan 1000 orang dari Madura melalui laut, dan 200
orang Madura, serta 500 orang dari Banger di Jawa melalui darat dari
daerah Lumajang untuk dengan berjalan melalui pantai selatan… dst
… kita bisa melihat “ Banger “ merupakan sebuah tempat kecil namun
letaknya sangat baik, dan menghasilkan 8 koyang beras bagi Kumpeni,
6 pikul lilin, dan pajak Tol sebanyak 300 ringgit Belanda setahunnya.
“Banger”, sebuah Kabupaten juga terkena kewajiban menyetorkan
Contingenten lam sebanyak 8 koyang beras, 6 pikul lilin dan 2 pikul
kain yang sudah diolah dari coir atau kajer…. Pasuruhan dan Banger
sangat menderita akibat ulah kaum pemberontak dari
Blambangan.(Laporan W.H Van Ossenbergh tgl 26 Oktober 1761)
Berdasarkan data sejarah di atas, maka nama Banger telah benar-benar
melegenda di hati semua masyarakat Kabupaten Probolinggo hingga
sekarang. Kemudian berubahnya sejak masa pemerintahan bupati
Jayanegara keturunan dari kasepuhan Surabaya, nama “Banger” dirubah
menjadi “Probolinggo”, asal kata dari “Probo” artinya “Sinar “, sedangkan
“Linggo” artinya “Badan” atau “Tugu” sebagai tanda peringatan. Dalam
pada itu masih sejaman dengan perubahan nama Banger menjadi
Probolinggo, kita ketemukan adanya nama desa Wirolinggo, di selatan desa
Pangger (Randupangger), dan Maniklinggo nama Blambangan lama.
b. Jayalalana sebagai seorang pemimpin
Munculnya nama Jayalalana sebagai tokoh yang tampil dalam
panggung sejarah kehidupan manusia, dalam mengemban visi misi
kehidupanNya, sebagai seorang pejuang tampaknya banyak sumber
kepustakaan yang menceriterakannya dengan berbagai versi. Ada yang
menuliskannya dengan sebutan : Jolono, Jaya leksana, Joklana, Djaya
Lelana, Jalaneki. Nama-nama itu, bisa saja karena salah tulis atau karena
ketentuan guru lagu (jw.) dalam penulisan syair sebuah tembang jawa,
karena sumber kepustakaan aslinya tertulis dengan huruf jawa bali, dan
disajikan dalam bentuk tembang namun menurut maknanya tetap merujuk
untuk satu orang nama yakni Jayalalana. Jika merujuk pada daftar
kronologi peristiwa sejarah dalam Babad Blambangan , Nama Jayalalana,
muncul dalam berbagai tahun dengan episede peristiwa sebagai berikut :
(1). Dalam babad Mentawis (Mataram), dijelaskan dalam hubungannya
dengan babad Sembar, bahwa 18 orang putera Semayapura yang
mengabdi di Surakarta, diterima dngan baik, berganti nama dan juga
menerima kedudukan, dalam hal ini Jayalalana menjadi manteri :
“Singa Bei Wangsadipa bocah mantri, aran Jayalalana, Sun paringi
satus kang linggih, arane tetep Jayalalana. (Babad Mentawis hal 993:29-30)“
(2) Oktober 1678 Seorang Jayalalana, dan pengikut-pengikutnya dari
Bali menyerang Kraeng Galengsung (hal 316)
(3). Akhir Nopember 1678, Temenggung Jayalalana menjadi penguasa
Kadhiri, atas nama Sunan Mataram.
(4) Januari 1679, Jayalalana, sebagai Temenggung Gresik menghadiri
rapat kumpeni bersama dengan Sultan dan para penasehatpenasehatnya.
(5) Tgl 10, dan 18 Nopember 1769, , Jayalalana yang oleh Landtraad telah
dihukum dan dibuang untuk seumur hidupnya, sebagai bekas Bupati
Lumajang yang telah lolos dan berada di daerah Malang.
(6) Tahun 1679- 1697 Muncul lagi nama Jayalalana ke I, menjadi bupati
Prabalingga (hal 317)
(7) Tahun 1687, Surapati untuk kedua kalinya pergi ke Kartasura, dan
Jayalalana mengiringinya dengan pengikut-pengikutnya dari
Buleleng (hal:317), saat ini Jayalelana sudah menjadi bupati
prabalingga.
(8) Jayalalana bupati Prabalingga tidak mau menyerahkan Mancanapura
anak Tawang Alun yang minta perlindungan kepadanya kepada
Surapati, akibat perebutan waris Blambangan, setelah Tawang Alun
raja Blambangan meninggal , kemudian Prabalingga diduduki orang
Buleleng dan Bali, hingga Mancanapura lari ke Mataram.
(9) Muncul nama Jayalalana ke II, sebagai bupati Prabalingga tahun 1697
s/d 1746
(10) Muncul nama Jayalalana ke III, yang juluk Jayalalana Brayung,
sebagai bupati Prabalingga (hal : 321)
(11) Muncul nama Puspakusuma, anak Jayalalana ke II, sebagai bupati
Prabalingga tahun 1764-1767 (hal :322)
(12) 30 Juli 1765, Saat terjadi pergantian jabatan penguasa perang jawa
timur, dari Hendrik Beerton kepada Coop Groen. Coop Groen
bertanya kepada Panembahan cakraningrat dari Madura, “ Siapa
yang menggantikan Kobis komandan dari Gembong ”, (Gembong
nama Pasuruhan lama). Jawab Panembahan : “ Orangnya Panegro,
dan juga bahwa Djalalana dari Prabalingga tidak lagi bupati
disana, tetapi Puspakusuma ”.
(13) Dalam Babad Bayu sekitar tahun 1770 s/d 1771, Jayaleksana
sebagai Adipati Blambangan yang berperang dengan orang-orang
Bayu.
Jayalalana diangkat menjadi bupati oleh Sunan Amangkurat II pengganti Sunan
Amangkurat I yang meninggal pada tahun 1677. Tentunya bukan tidak
beralasan, mengapa Jayalalana diangkat sebagai bupati di Prabalingga. Hal
ini berkaitan dengan situasi sebelumnya dimana 4 tahun kemudian ( 1677-
1681) di Kartasura terjadi gejala perebutan kekuasaan antara Amangkurat
II, dengan P. Puger beserta Pakunegara, yang dipicu sejak tahun 1681.
Dalam suasana yang selalu berkecamuk itu Jayalalana posisinya sudah
berada di Surakarta bersama 18 orang dari Bali yang sudah lama mengabdi
di Surakarta, berganti nama, dan menerima jabatan. Untuk Jayalalana
sendiri menjabat sebagai manteri membawahi seratus orang, secara
tekstual informasi ini dapat dipahami dalam kutipan sebagai berikut :
Sinom :
Gdhe runuh gdhe ma/ndhwang,gdhe tyanyar gdhe kaloncing,
agaguneman kalawn, para putra hmas neki, ring balambangan uni,
para putrane puniku, arsa lunga angilen, putra blambangan ami/t.
mas rahas mas, wasa lawan mas candhi bang. (pph : 91) mas atur
mas kawana, mas pakem emas udarsi, majiyanto, mas ayono, mas
pada mas ajiyanti, mas brajaganti mas unting, mas nata iku, mwang
hmas pasdhahan, lawan emas batu putih, hmas wadana hmas
ngrimangi putra. (pph :92) ingih ika samya ngilen, mataram jinuju
neki, angaula a/sewaka, mring sang prabu nyakrawati, mring
mataram dumugi, tinarima den sang prabu, samya ing ngupa-upa,
kaeman kaulaneki, lami-lami ana sinung lelungguhan (pph : 93)
padha sinunga paparab, kaganti wastane uni, ana parab
malangkarsa, ana parab darmajurit, ana parabireki, malang Negara
lan wau, paparab kertiyuda, ana kreti manggaleki, ana singapadu,
ana jayeng yudha (pph : 94) (Babad Blambangan 1996 Hal : 40 )
Dandang gula :
Jaladirja tetep milu kering, sun paring limang atus linggihnya, iya
tetepa arane, tumenggung Jaladirjeku, mantri telu tunggala kardi, ya
si sastrapranata, sun gawe mantriku, lungguh satus su reh rannya,
Singa Bei Wangsadipa bocah mantri, aran Jayalalana. (pph :29)
sun paringi satus kang lilinggih, arane tetep Jayalalana, si
Jayawekangka mangke, sun gawe mantri lungguh, ya wong satus
rane sun alih, Bei Wangsa wijaya, lan maning bocah sun, anake si
Danureja, ya si Mangkuwijaya ingsun junjung linggih, dadya
wadana njaba ( pph 30) (Babad Mentawis 2 1979 : hal 993;29-30)
Sehingga dapat dipahami bahwa keterlibatan Jayalalana dalam
pertempuran di Mataran tidak bisa dihindari, yang dalam kisah berikutnya
berhasil membunuh P. Puger atau mungkin si Pakunegara, seperti yang
diceriterakan pada pupuh 110, sebelum pupuh 228. Adapun pupuh sinom
110, dan 111 itu selengkapnya berbunyi sebagai berikut
Sinom :
“kaya ngapa yan tumandang, mesahku duluran sami, ameng twase
bandayuda, irika wong blangbangan ningali, wong kretasura pan thu,
paprange pala cidra, patih puger maring ngarsi, kapethuk jayalana
athanding yuda “ (pupuh :110), “ pati puger ngucap sapa, kita
mapag tandang mami, jayalalana mgucap, ngong andon prang saking
bali, jayalalana mami, nulya tinumbak asru,tan tetes pinerwanan,
ping tiga maksih tan kanin , winales tinumbak ki patih pralaya “
(pupuh 111)
Terjadinya pupuh 228, dalam sembar ini diprekdisikan sekitar abad 15
s/d awal abad 18, atau tepatnya abad 16 di mana selanjutnya di sekitar
tahun 1677 atau sesudahnya, Jayalalana dijadikan bupati Prabalingga
karena telah berjasa pada Amangkurat II, dalam pertempuran di Kartasura,
sehingga pupuh 110,111, dan 228 merupakan suatu sebab akibat, selain
karena kebutuhan untuk penghadang bagi Pasuruhan terhadap seranganserangan
dari Blambangan dan Bali.
Tugas bupati Prabalingga Jayalalana terbukti pada masa 3 tahun
kemudian, di mana pupuh-pupuh berikutnya 290, 293,298, 299 dapat
dibaca bagaimana Jayalalana sebagai bupati Prabalingga melakukan
peperangan dengan Blambangan, dan Bali Karena pada tgl 2 Januari
1680, kembali orang-orang Blambangan menduduki Sidopeksa, dan
Pajarakan (eks kerisidenan Kraksaan).
Kapankah secara pasti Jayalana menjadi bupati Prabalingga hal ini
dapat di pahami dengan jelas, bukan di tahun 1680, karena di tahun ini ia
sudah sebagai bupati Prabalingga sudah berperang dengan Blambangan,
dan Bali di daerah Sidopeksa Kraksaan. Jika demikian tentunya bisa
diprediksikan pada tahun-tahun sebelumya atau sesudah tahun 1677
(masa pergantian Amangkurat I ke II) atau sesudah perang dengan
Kraeng Galengsung tahun Oktober 1678, apalagi jika sejak Nopember
tahun 1678, Temenggung Jayalalana ini sudah menjadi penguasa di
Kadhiri atas nama Sunan Mataram. Atau mungkin setelah menghadiri
rapat sebagai Temenggung di Gresik pada Januari 1679. Dalam babad
Bayu (hal 225), dan Tawang Alun (hal 113), Perlu diingat sebagai rujukan,
Jaksanagara yang dinyatakan sebagai sdr Jayalalana, diangkat bupati
kanoman di Pangpang Blambangan tahun 1679.
Dalam babad Willis tampak lebih jelas, di mana babad yang ditulis
oleh Purwasastra sastrawan Probolinggo ini di antara isi naskahnya
menceriterakan tentang Pangeran Blambangan yang disebut Pangeran Pati
(Tawangalun II Juni 1670 atau 1697 ?), karena terjadi perebutan kerajaan
dengan saudaranya Wong Agung Wilis maka atas saran patihnya
Sutawijaya agar mengungsi saja di Probolinggo, dan saat itu Djoyolelana
sudah menjadi Bupati Probolinggo.
Jika melihat daftar kronologis dari Babad Blambangan secara
keseluruhan, dan Babad Mataram, yang telah disajikan di atas, ditemukan
beberapa nama Jayalelana yang tampil dalam perjalanan sejarah di pulau
jawa ujung timur, khususnya di daerah Banger dengan episode, dan
peristiwa yang berbeda. Ada sekurang-kurangnya empat atau lima nama
Jayalalana, yaitu :
(1). Sekitar tahun 1645 awal perebutan tahta Tawangalun II/
Blambangan. Putera Smayapura 18 orang mengabdi di Surakarta,
hingga Jayalalana diangkat menjadi mantri oleh Amangkurat ,
membawahi seratus orang .
(2) Oktober 1678, Jayalalana , bersama pengikut-pengikutnya dari Bali
menyerang Kraeng Galengsung, orang dari Makasar;
(3) Akhir Nopember 1678, Jayalalana, menjadi penguasa di Kadhiri
atas na Susuhunan Mataram ;
(4) Januari 1679, Jayalalana, sebagai Temenggung Gresik menghadiri
rapat kumpeni bersama Sultan dan penasehat-penasehatnya;
(5) Juni, 1679, (Jayalalana dinyatakan gugur. … ? dlm. babad ), perlu
disangsikan, karena dlm. laporan “ Gubernur dari jawa Timur
kepada Gubernur Henderak, dan Dewan dari Hindia Belanda, tgl. 10
dan 18 November tahun 1769 ”. Bahwa kumpeni masih kepikiran
untuk mengkapi buronan yang masih bersembunyi di daerah
Malang. Termasuk Jayalelana bekas bupati Lumajang yang telah
lolos dari tahannya di P. Nusabarong, dan saat ini dilindungi oleh
anak keturunan Surapati, secara diam-diam di Malang.
(6) Tahun 1679, dan sesudah tahun 1697, Jayalalan I, mungkin masih
keluarga dari Jayalalana yang gugur, menjadi bupati Prabalaingga;
(7) Tahun 1687, Jayalalana bersama Surapati, untuk kedua kalinya
mengiringi ke Kartasura bersama pengikut-pengikutnya;
(8) Tahun 1697, Jayalalana sebagai bupati Prabalingga tidak mau
menyerahkan Mancanapura pengungsi dari Blambangan yang
meminta perlundunganNya;
(9) Tahun 1697 – 1746, Jayalalana II, sebagai bupati Prabalingga
(10) Tahun 1746 – 1764, Jayalalana III yang juluk Jayalalana Brayung
menjadi bupati Prabalingga
(11) Tahun 1764 – 1767, Puspakusuma, anak Jayalalana II, menjadi
bupati Prabalingga.
Berdasarkan daftar kronologis tersebut, setidak-tidaknya
menimbulkan pertanyaan yang cukup pelik untuk diketemukan
jawabanya. Jayalalana yang manakah yang mempunyai legitimasi paling
kuat, sebagai bupati Banger atau Prabalingga pertama. Jika dalam
hubungan ini kita dapat menganalisa, dengan suatu pemikiran misal :
a. Sebelum Jayalalana sebagai temenggung di Kadhiri, tampakanya
sudah menjadi mantri di Kartasura terlebih dahulu dengan
membawahi orang seratus. Setelah dari Kadhiri apakah lalu dipindah
ke Gresik , dan kemudian gugur itu apa merujuk nama Jayalalana
satu orang, atau dua orang. Untuk sementara data ini mungkin bisa
diabaikan karena tampaknya tidak menyangkut langsung dengan
identitasnya di daerah Prabalingga. Namun fakta laporan
sebagaimana no.4 di atas menyatakan Jayalalana bekas bupati
Lumajang yang telah dihukum dan dibuang ke P. Nusabarong
masih hidup dan berada di dalam persembunyiannya di daerah
Malang yang diam-diam dilindungi oleh keturunan Surapati.
(menarik untuk diperhatikan)
b. Jika jayalalana I, itu diperkirakan masih keluarga Jayalalana yang
gugur, pada Juni tahun 1679, dan sesudah tahun 1697, menjadi
bupati Prabalingga, berarti sebelum Jayalalana (data 1746- 1768)
sebagai bupati Prabalingga, sudah ada Jayalalana I, dan II sebagai
bupati Prabalingga. Dengan begitu Jayalalana bupati Prabalingga (
data 1746-1768) yang tercatat datanya di papan nama-nama bupati
Prabalingga pertama itu, dapat dipastikan adalah Jayalalana
Brayung, yakni Jayalalana III. Jayalelana III inilah tampaknya
yang ditulis dalam “Sejarah Singkat Kabupaten Probolinggo “ tahun
1973, oleh Ibnu Said Dkk.
c. Jika sepakat dengan pola pemikiran ini, maka sebelum Jayalalana
Brayung bupati Prabalingga tahun (data 1746-1768), masih ada
(Demang) Jayalalana II, sebagai bupati Parabalingga tahun (1697 –
1746), dan Jayalalana I, sebagai bupati Prabalingga tahun (… juni
1679 – 1697).
d. Kemudian jika diurutkan dari periode tahun yang lebih tua
kronologi bupati-bupati Prabalingga pada masa-masa awal bisa
dipahami sebagai berikut :
(a). Jayalalana I bupati Prabalingga, tahun ( …Juni 1679 –
1697); yang sebelumnya sebagai bupati Lumajang. (catatan :
bukankah Lumajang dan Probolinggo, saat itu menjadi bagian
dari Blambngan, dan Probolinggo masuk wilayah Lumajang),
terbukti saat Jayanegara menjadi Bupati Prabalingga (31
Desember 1781), juga merangkap dengan Lumajang. (De
opkomst 1883)
(b) Demang Jayalalana II bupati Prabalingga , tahun (1697 – 1746);
(c ) Jayalalana Brayung III, bupati Prabalingga, tahun (1746-1764/8)
(d) Puspakusuma anak Jayalalana II bupati Prabalingga (1764 –1767)
(e) Dan baru menginjak pada bupati Jayanegara (1768 – 1805),
sebagai bupati Prabalingga, sesudah wangsa Jayalalana,
karena Jayanagara ini keturunan dari kasepuhan Surabaya.
(Catatan : Karena Jayanegara berjasa pada VOC merebut
daerah Malang)
Jika memahami kronologis tersebut, maka jika sependapat bahwa
sebelum Jayalalana Brayung, sebagai Jayalalana ke III (data 1746-
1764/8), sebagai bupati Prabalingga, yang diklaim oleh “Buku Sejarah
Singkat Kabupaten Probolinggo (ditulis 1973), sebagai bupati pertama di
Prabalingga. (dalam penelitian saat ini dinyatakan gugur jika diklaim
sebagai bupati pertama di Prabalingga).
Maka data sejarah yang sebenarnya, riwayat bupati Prabalingga,
dimulai jauh lebih tua daripada yang tercatat di papan data nama-nama
bupati yang saat ini dipasang di pringgitan pendopo Kabupaten
Probolinggo. Karena masih ada dua urutan bupati sebelumnya yakni
mundur lebih tua 67 tahun yang lalu, yaitu … Juni 1679. Atau , dalam
masa-masa tgl 10 s/d 18 November 1679 atau lebih mundur lagi
tahun 1677.
Dengan demikian menurut babad sembar, Jayalalana sebagai bupati
Prabalingga adalah pada bulan Juni 1679, atau tgl 10 s/d 18 November
1679. atau mundur lagi tahun 1677 setelah Amangkurat I meninggal
dunia, yang kemudian diangkat oleh Susuhunan Amangkurat II Kartasura,
dengan gelar Adipati (dupati), sebagai balas jasanya terhadap
perjuangan–perjuangan sebelumnya, selain sebagai pertahanan daerah
Pasuruhan dari serangan Blambangan dan Bali.
Hubungan Surapati dengan Amangkurat II saat itu nampak
telah agak berseberangan. Pada tahun 1687, dia megadakan
kunjungan kedua ke Kartasura, ditemani Djajalelana dan
Djajapurusa, dan bersama dengan mereka duta dari Bali Gusti Agung
( Dewa Agung, atau Gusti Panji Sakti dari Buleleng ) Nampaknya
selama kunjungan ini Sunan membuat usaha untuk membunuhnya;
salah salah satu pembunuh dibunuh oleh pengawal Surapati. (Babad
Surapati : Hal 482 )
Berdasarkan data sejarah tersebut, dapat dikritisi sebagai berikut :
1). Hubungan Surapati dengan Amangkurat II saat itu berseberangan
atau terjadi tidak ada kecocokan.
2) Tgl 25 Februari tahun 1686. terjadi ekspidisi ke Timur dibawah P.
Puger, yang akan menekan Surapati , dibantu oleh para Bupati
daerah-daerah pesisir, termasuk salah satunya Bupati Banger
Djajalelana
3) Tgl 25 Februari 1686 Dyalejalana saat itu sudah menjadi Bupati di
Prabalingga, dan pada saat itu ikut menekan Surapati. Begitu juga
Djajapurusa sebagai Bupati Bangil, (sesuai cerita dalam Sembar,
sejak Januari 1680 Djajalelana sebagai Bupati Prabalingga telah
berperang di Sidopeksa, Kraksaa, dan Pajarakan melawan orang
Blambangan, dan Bali) )
4). Surapati menjadi Bupati Pasuruhan baru kemudian tahun 1686,
setelah bertempur dengan Tack di Kartasura, dan baru 1 tahun
kemudian (tahun 1687, pergi ke Kartasura, bersama Djajalelana,
Djajapurusa, dan Gusti Agung atau Panji Sakti dari Buleleng (Bali).
Dalam kunjungan ini bisa juga dengan maksud permohonan maaf
untuk Surapati kepada Amangkurat II., Dalam hal ini posisi
Djajalelana sebagai bupati Banger /Prabalingga ikut mendampinginya.
5) Dan setelah itu kedudukan Surapati di Pasuruhan setelah
menggantikan Anggajaya (1682-1686), semakin kuat berkat bantuan
Djajalelana, (Temenggung Banger) dan Djajapurusa (Temenggung
Bangil).
6) Saat itu 1686 saat Suropati menjadi bupati Pasuruhan menggantikan
Anggajaya, posisi Djayolelana sudah menjadi bupati Probolinggo,
karena tahun 1680, sebagai bupati sudah berperang
mempertahankan Probolinggo dari serangan orang Blambangan dan
Bali di Sidopekso Kaksaan.
7) Kunjugan ke Kartasura tahun 1687 bersama Surapati, Jayalalana
sudah menjadi Bupati, kunjungan itu dapat diprediksikan utuk
menyelesaikan persoalan Untung Surapati dengan Mataram.
8) Kunjungan Jayalalano ke Surakarta pertama (I), menurut Babad
Sembar besamaan Jatuhnya TawangAlun I, dimana 16 orang
keturunan Semayapura keponkan Danudaresta mengabdi di
Surakarta (Prediksi Tahun sektar 1645).
Berdasarkan, Babad Tanah Jawi, tentang siapa Kyai Boen Djaladriya
itu ? dapat dijelaskan bahwa ia pada awalnya bernama Ki Eboen ia adalah
teman Untung Surapati, ketika di penjara, dan melarikan diri dari Batavia,
adapun informasi dapat dipahami sebagai berikut :
“Katjarios, ki Oentoeng waoe ing daloe sami pirembagan prajogining
lampah. Wonten kami sepoehipoen setoenggil, anama ki Eboen.
Poenika ngajak kesah dateng ki Oentoeng saking beteng Alang-
Alang, kaajak ngoengsi dateng Tjarebon “.(Babad Tanah Jawi 1987
Hal : 114:8 - hal 212)
Kutipan tersebut ditulis dengan ejaan lama, sehingga jika ditulis ejaan
baru, maka Oentoeng menjadi Untung, Eboen menjadi Ebun. Lalu
kapankah berubah nama Ki Eboen, menjadi Ki Eboen Djaladriya ,
berubahnya ketika mengungsi menghadap Kanjeng sultan di Tjirebon ,
bersama Oentoeng, yang selanjutnya nama Oentoeng-pun diberi tambahan,
lalu disarankan untuk pergi ke Mataram. Kejadian itu dapat dipahami
sebagai berikut :
“ Karo dene kowe dak soeroepake , jen wis pinesti karsa ning Allah,
kowe lan satoeroemoe besoek pada satroening wong Welanda, sarta
akoe aweh wasijat nama marang kowe : kowe adjenenga raden Soera-
Pati. Wis kowe mangkata, akoe ndjoeroengi pandonga bae.”…….
Raden Soera Pati witjanten malih : “ Ing mengko kang dadi
karepkoe, ki Eboen iki dak djenengakae ki Eboen Djala Drija,
ngerehna wong patang poeloeh iki, sebab ikoe kang toewa dewe.”
(Babad Tanah Jawi 114 :45 –hal 214)
Dalam riwayat berikutnya dikisahkan ki Eboen Djala Driya selalu
bersama R. Oentoeng Sura Pati, sampai di Toja Mas, (Banyumas dlm.
Babad Wilis : hal 623), dan setelah mengangkat petinggi bersaudara Sara
Denta, dan Sara Denti menjadi raja di Tojo Mas ( Banyumas), ki Eboen
untuk sementara ditinggalkan, lalu R. Oentoeng Sura Pati melanjutkan
pergi ke Kartasura. Dan pada peristiwa berikutnya sewaktu perang di
Pasuruhan, dan Surapati menjadi Temenggung di Pasuruan bergelar
P,Wiranagara, Dalam mempertahankan Pasuruhan saat diserang Mataram,
Kumpeni, dan Madura dan dalam pertempuran itu Ki Eboen dipanggil, dan
Ki Eboen Djaladrija berhasil membunuh Demang pesisir dari Madura.
Tentang Ki Eboen Djolodriyo, dalam Babad Suropati, dikisahkan,
setelah ikut pertempuran di Pasuruhan, hingga saat Untung Surapati
menjadi bupati di Pasuruhan, Ki Eboen Djolodriyo tidak lagi bersama
dengan Surapati dalam kehidupan di sekitar Kadipaten (tidak menjadi
patih). Melainkan kembali hidup di desa bercocok tanam, namun juga
tidak berhenti dengan kebiasaanya hidup yang kurang baik , berjudi,
merokok (udud), dan minum-minum juga selalu meresahkan masyarakat
di desa. Pada kisah berikutnya Ki Bun Djolodriyo , bahkan mati di tangan
Untung Suropati sendiri.
Masih dalam babad Suropati, tentang siapakah anak Ki Eboen
Djladriyo, yang sebenarya, disebutkan sebagai berikut :
One day when he was giving audiemce, Wiranegara said to Bun
Djaladriya that his son should now be made Patih, and have his
residence on the north side of market –place
The ruler also wished to appoint a second Patih. The man choosen
was Suradjaja, and he was given the title Ngabei Kiduling Pasar.
(Surapati : CANTO XXII Hal 110)
Satu hari, ketika di adakan pertemuan, Wiranegara berkata kepada
Bun Djaladriya bahwa anaknya seharusnya sekarang yang akan
menjadi patih, dan tempat kediamannya di sebelah utara pasar. (
Ngabei Loring Pasar ) Penguasa itu juga menunjuk patih kedua. Orang
yang dipilih adalah Suradjaja, dan di beri gelar Ngabei Kiduling Pasar.
(Surapati : CANTO XXII Hal 110)
Dari uraian di atas jelas, bahwa Joyolalano , bukan putera Boen
Djolodrijo, dan Boen Djolodrijo sendiri tidak pernah menjabat Patih di
Pasuruhan Dengan temuan data ini, pendapat yang mengatakan bahwa
Joyolelana, putera Ki Eboen Djaladriya patih Pasuruhan adalah tidak
benar.
Indentitas Jayalalana dipertegas oleh Surapati, sebagai orang dari Bali
ketika terjadi pertempuran di Prabalingga dengan orang Bali, dan
Blambangan terungkap pada, paroh tembangnya berbunyi :
“rahaden mas surapati, pinarak ing sitinggil, aangucap wacana
arum, dhuh kulawarganingong, putra balambangan bali,
angakua dulur tmen jalalana ”. ( babad Sembar Sinom pupuh
310)
Djajalalana dan Djajapurusa adalah keturunan
Bali, Cucu dari penguasa Semayapura Dan putra dari Gede Krasan.
(Babad Surapati : 457)
Sinom ;
Sarwi ngucap aywa ana prang, sayekti musuh pribadi,
jayalalana jayapurusa, iku tereh saking bali, putra
smayapuri, gdhe krasan duwe sunu, rungunen ngwang carita,
adegena tumbak neki, gampang aprang, yen musuh wong dudu
sanak (Babad Sembar pph 302 hal 46)
Syair tembang di atas memperjelas apa yang tertulis dalam babad
sembar, ketika Probolingga diserang oleh kelompok Bali dan Blambangan,
di mana ketika itu Surapati datang melerai pertempuran .Dalam
komentarnya pembahas buku ini menuliskan bahwa Jayalalana adalah : “
Putera Smayapura dan keponakan Panji Danurdarastra yang bernama Ki
Jayalalana, bersama putera-putera dari 18 orang Gdhe dari Bali pergi ke
Kartasura”, tahun berapa tidak jelas setelah perebutan tahta Tawang Alun
sekitar tahun 1683, saat Anggajaya bupati Pasuruhan menyambut
kehadiran Tawang Alun II di Probolinggo setelah pulang dari Mataram
(BB :59). Sedangkan kejadian yang dituliskan tahun 1687.adalah ke
Kartasura yang kedua berama Surapati, Jayalalana sudah sebagai bupat
Banger.
Wangsa/dinasti Jayalalana berkuasa sebagai bupati Prabalingga
sampai keturunan ke 4, dan baru piriode kelima diganti oleh Jayanegara dari
keturunan bupati kasepuhan Surabaya.
Kabupaten Probolinggo, selama pireode wangsa
Jayalalana, dan wangsa Jayanagara, dirangkap dengan Kabupaten
Lumajang. Dan saat tahun 1890, malah berbentuk Keresidenan yang
berpusat di Prabalingga. Pejabat Bupati berkedudukan di Prabalingga,
sedangkan untuk daerah Kraksaan, dan Lumajang dijabat oleh seorang
patih. Mengapa Keresidenan, hanya dijabat oleh seorang Bupati,
tampaknya sangat beralasan, karena sejak pada tanggal 27 september
1771, Susuhunan Surakarta, dan Sultan Mataram tidak memberlakukan
adanya pangkat WEDANA.
Dikutip dan diringkas dari :
http://www.probolinggokab.go.id/site/images/stories/sejarah/tinjauan%20singkat.pdf
No comments:
Post a Comment