Lumajang, - Candi Agung yang berada di Desa/Kecamatan Randuagung merupakan peninggalan dari Mpu Nambi yang merupakan Mahapatih Pertama Kerajaan Majapahit sejak didirikan oleh Raden Wijaya bersama Arya Wiraraja. Namun, sayang seribu sayang, candi yang diperkirakaan pertapaan Patih Nambi yang merupakan tokoh sejarah asal Lumajang jarang dikunjungi masyarakat dan wisatawan.
"Sepi sekali pengujung kesini mas, padahal ini peninggalan sejarah Lumajang dan cocok untuk pengetahuan pendidikan," kata Sawuk, penjaga situs Candi Agung pada kabarlumajang.net, Kamis (20/10).
Dia menceritakan dari berbagai sumber, Nambi adalah pemegang jabatan rakryan patih pertama dalam sejarah Kerajaan Majapahit. Ia ikut berjuang mendirikan kerajaan tersebut namun kemudian gugur sebagai korban fitnah pada pemerintahan raja kedua "Jayanegara". Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama menyebut Nambi sebagai salah satu abdi Raden Wijaya yang ikut mengungsi ke tempat Arya Wiraraja di Songeneb (nama lama Sumenep) ketika Kerajaan Singasari runtuh diserang pasukan Jayakatwang tahun 1292. Sedangkan menurut Kidung Harsawijaya, Nambi adalah putra Arya Wiraraja yang baru kenal Raden Wijaya di Songeneb (Sumenep).
Kidung Harsawijaya mengisahkan pula, Nambi kemudian dikirim ayahnya untuk membantu Raden Wijaya membuka Hutan Terik menjadi sebuah desa pemukiman bernama Majapahit. Kisah ini berlawanan dengan Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe yang menyebut nama putra yang dikirim Arya Wiraraja adalah Ranggalawe, bukan Nambi.Pararaton selanjutnya mengisahkan, pada saat Raden Wijaya menyerang Kadiri pada tahun 1293, Nambi ikut berjasa membunuh seorang pengikut Jayakatwang yang bernama Kebo Rubuh."Nambi tokoh asal LUmajang asli," ungkapanya.
Jabatan yang Disandang yang disandang pati Nambi, Dalam kitab Pararaton mengisahkan setelah kekalahan Jayakatwang tahun 1293, Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit dan mengangkat diri menjadi raja. Jabatan patih atau semacam perdana menteri diserahkan kepada Nambi. Berita ini diperkuat oleh prasasti Sukamerta tahun 1296 yang memuat daftar nama para pejabat Majapahit, antara lain Rakryan Patih Mpu Tambi.
Menurut Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe, pengangkatan Nambi inilah yang memicu terjadinya pemberontakan Ranggalawe di Tuban tahun 1295. Ranggalawe merasa tidak puas atas keputusan tersebut karena Nambi dianggap kurang berjasa dalam peperangan. Atas izin Raden Wijaya, Nambi berangkat memimpin pasukan Majapahit menyerang Tuban. Dalam perang itu, Ranggalawe mati di tangan Kebo Anabrang.
Saturday, October 29, 2011
Warga Sumenep Menemukan Makam Kuno
Surabaya, - Penemuan 7 makam di Dusun Kampung Baru, Desa Pandian, Kecamatan Kota, Sumenep, bisa saja penyebar agama Islam dari murid Sunan Bonang. Namun, kepastian itu perlu dilakukan penelitian lebih dalam.
"Ya perlu dicross chek dulu untuk mengetahui kebenarannya. Apa benar yang tertulis di nisannya sesuai dengan zamannya," ujar Ahli Sejarah dan Pemikiran Islam IAIN Sunan Ampel, Surabaya, Prof Abdul A'la, saat bincang-bincang dengan detiksurabaya.com, Selasa (8/3/2011).
Diantara makam yang ditemukan warga 10 Februari 2011 tersebut, terdapat dua makam yang nisannya bertuliskan Bonang dan Syekh Sayid Abdullah. Di bagian nisan tersebut, juga terdapat tulisan caraka Jawa kuno dengan bertuliskan wafat 1151 Hijriyah.
A'la menerangkan, 1151 H yang berarti sekitar abad 17. Kalau di era penyebaran agama Islam yang dilakukan Sunan Ampel, pada abad sekitar 15 dan Sunan Ampel wafat sekitar pertengahan abad 15. Sedangkan Sunan Bonang dalam menyebarkan agama Islam, sekitar pertengahan abad 15 dan wafatnya sekitar awal abad 16.
"Bisa saja makam itu adalah murid tidak langsung dari Sunan Bonang untuk menyebarkan agama Islam di Madura. Tapi semuanya perlu bertugas mencari sepak terjang beliau," kata pria yang juga menjabat sebagai Pembantu Rektor I bidang akademik IAIN Sunan Ampel.
A'la mengimbau kepada masyarakat terkait penemuan makam tersebut, agar mengembalikan fungsi kuburan. Jika dalam waktu lebih dari dua tahun, makam tersebut bisa ditempati makam lainnya.
Sedangkan untuk pemerintahan, bisa mengutus badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan Mojokerto, untuk mengecek ke lokasi dan meneliti, apakah makam itu benar atau tidak.
"Kalau ada, orang boleh mendoakan dan mengingat jasanya serta melaksanakan dan mengingat perjuangannya menyebarkan Islam dengan kedamaian," jelasnya.
Sumber: detik.com, http://arkeologi.web.id
"Ya perlu dicross chek dulu untuk mengetahui kebenarannya. Apa benar yang tertulis di nisannya sesuai dengan zamannya," ujar Ahli Sejarah dan Pemikiran Islam IAIN Sunan Ampel, Surabaya, Prof Abdul A'la, saat bincang-bincang dengan detiksurabaya.com, Selasa (8/3/2011).
Diantara makam yang ditemukan warga 10 Februari 2011 tersebut, terdapat dua makam yang nisannya bertuliskan Bonang dan Syekh Sayid Abdullah. Di bagian nisan tersebut, juga terdapat tulisan caraka Jawa kuno dengan bertuliskan wafat 1151 Hijriyah.
A'la menerangkan, 1151 H yang berarti sekitar abad 17. Kalau di era penyebaran agama Islam yang dilakukan Sunan Ampel, pada abad sekitar 15 dan Sunan Ampel wafat sekitar pertengahan abad 15. Sedangkan Sunan Bonang dalam menyebarkan agama Islam, sekitar pertengahan abad 15 dan wafatnya sekitar awal abad 16.
"Bisa saja makam itu adalah murid tidak langsung dari Sunan Bonang untuk menyebarkan agama Islam di Madura. Tapi semuanya perlu bertugas mencari sepak terjang beliau," kata pria yang juga menjabat sebagai Pembantu Rektor I bidang akademik IAIN Sunan Ampel.
A'la mengimbau kepada masyarakat terkait penemuan makam tersebut, agar mengembalikan fungsi kuburan. Jika dalam waktu lebih dari dua tahun, makam tersebut bisa ditempati makam lainnya.
Sedangkan untuk pemerintahan, bisa mengutus badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan Mojokerto, untuk mengecek ke lokasi dan meneliti, apakah makam itu benar atau tidak.
"Kalau ada, orang boleh mendoakan dan mengingat jasanya serta melaksanakan dan mengingat perjuangannya menyebarkan Islam dengan kedamaian," jelasnya.
Sumber: detik.com, http://arkeologi.web.id
Monday, October 24, 2011
SEJARAH MASJID AGUNG BANGKALAN
Pembangunan Masjid Agung Kota Bangkalan merupakan hal yang tidak terpisahkan dengan sejarah awal perpindahan pusat pemerintahan kerajaan di Madura, karena sejak ditangkapnya dan dibuangnya Pangeran Tjakraadiningrat ke IV (memerintah tahun 1718 sampai dengan 1745) yang disebut Sidingkap (asal kata Sido-Ing-Kaap) oleh Belanda (Kaap de Goede Hoop/Afrika), yang semula didesa Sembilangan dipindahkan ke Desa Kraton Bangkalan (tahun 1717) dengan diawali 3 bangunan utama yang terdiri dari :
1. Bangunan Kraton (sebolah timer)
2. Bangunan Paseban (di tengah)3. Bangunan tempat ibadah/masjid (sebelah barat)
Adapun penggantinya adalah Pangeran Adipati Setjoadiningrat dengan gelar Panembahan Tjakraadiningrat Ke V yang kemudian setelah watat disebut Pangeran Sidomukti (asal kata Sido-ing-mukti) yang memerintah tahun 1745 sampai 1770 dan dikebumikan di Aermata, Arosbaya. Pada masa pemerintahannya (tahun 1774) Kraton dipindahkan ke Bangkalan.Pangeran Sidomukti mempunyai putra R. Abd. Djamil, menjadi Bupati Sedayu dengan gelar R. Tumenggung Ario Suroadiningrat dan wafat mendahului Pangeran Sidomukti dengan meninggalkan istri yang sedang hamil 7 bulan dan setelah lahir diberi nama R. Tumenggung Mangkuadiningrat dan bergelar Tjakraadiningrat VI (PanembahanTengah) wafat tahun 1780 dimakamkan di Aermata, Arosbaya.
Setelah Tjakraadiningrat VI wafat diganti Saudara ayahnya yang bernama R. Abdurrahman atau R. Tawangalun alias R. Tumenggung Ario Suroadiningrat atau Panembahan Adipati Tjakraadiningrat VII (memerintah tahun 1780 sarnpai dengan 1815) yang kemudian dikenal sebagai Sultan Bangkalan I. Masjid waktu itu masih khusus untuk keluarga kraton.
Mulai Tjakraadiningrat ke VII pemerintahan berupa kesultanan dan penggantinya Sultan R. Abd. Kadirun (Sultan Bangkalan ke II) memerintah tahun 1847. Dalam kurun pemerintahan Sultan R. Abd. Kadirun, tepatnya pada hari Jum’at Kliwon tanggal 14 Jumadil Akhir 1234 H atau 10 April 1819 M sesudah Sholat Jum’at, tiang agung dipancangkan (pemugaran yan pertama) dengan ukuran 30 m x 30 m, dan waktu itu diresmikan sebagai wakaf/dijadikan Masjid Umum (Jami).
Para sesepuh Bangkalan menyatakan bahwa Masjid Jami’ Kota Bangkalan dibina oleh Panembahan Sidomukti dan diwakafkan oleh Sultan R. Abd. Kadirun yang wafat pada tanggal 11 safar 1236 H (tahun 1847) dimakamkan di kompleks tanah Masjid/dibelakang Masjid yang disebut Cungkup. Sedang tulisan (kaligrafi) yang tertera disekeliling Masjid ditulis oleh R. Moh. Zaid yang kemudian diberi gelar Raden Mas Kayadji.
PEMUGARAN MASJID AGUNG BANGKALAN
Dalam pemugaran Masjid Jami’ tersebut berkembang cerita bahwa sewaktu Sultan berkenan hendak meluaskan dan membangun Masjid yang agung dan berwibawa, beliau memerintahkan untuk mencari kayu jati 4 batang yang besar dan tingginya sama untuk tiang agung dan ternyata hanya memperoleh 3 batang, sedang yang satu batang besarnya sama namun tingginya kurang dan kurang lurus, sedang waktu untuk mencari sudah tidak ada lagi.
Dalam keadaan yang demikian, maka tampillah seorang Ulama yang bernama K. Nalaguna (makamnya dikampung Barat Tambak Desa Pejagan Bangkalan) yang kemudian dikenal sebagai Empu Bajraguna (ahli membuat senjata/keris) yang bersedia untuk mengusahakan agar kayu tersebut dimandikan dan dibungkus dengan kain putih dan dikirap keliling kota, dan setelah dikirap kain pembungkusnya dibuka, ternyata berkat karomah Ulama tersebut kayu itu sama tinggi dan besarnya, sehingga tepat pada waktu yang telah ditentukan. Kayu tersebut dipancangkan disebelah muka bagian utara yang kemudian tiang tersebut diambil dari Arosbaya tanpa menggunakan alat pengangkut (transport), cukup dengan gotong royong masyarakat dengan cara sambung menyambung (bahasa madura Lorsolor).
1. Bangunan Kraton (sebolah timer)
2. Bangunan Paseban (di tengah)3. Bangunan tempat ibadah/masjid (sebelah barat)
Adapun penggantinya adalah Pangeran Adipati Setjoadiningrat dengan gelar Panembahan Tjakraadiningrat Ke V yang kemudian setelah watat disebut Pangeran Sidomukti (asal kata Sido-ing-mukti) yang memerintah tahun 1745 sampai 1770 dan dikebumikan di Aermata, Arosbaya. Pada masa pemerintahannya (tahun 1774) Kraton dipindahkan ke Bangkalan.Pangeran Sidomukti mempunyai putra R. Abd. Djamil, menjadi Bupati Sedayu dengan gelar R. Tumenggung Ario Suroadiningrat dan wafat mendahului Pangeran Sidomukti dengan meninggalkan istri yang sedang hamil 7 bulan dan setelah lahir diberi nama R. Tumenggung Mangkuadiningrat dan bergelar Tjakraadiningrat VI (PanembahanTengah) wafat tahun 1780 dimakamkan di Aermata, Arosbaya.
Setelah Tjakraadiningrat VI wafat diganti Saudara ayahnya yang bernama R. Abdurrahman atau R. Tawangalun alias R. Tumenggung Ario Suroadiningrat atau Panembahan Adipati Tjakraadiningrat VII (memerintah tahun 1780 sarnpai dengan 1815) yang kemudian dikenal sebagai Sultan Bangkalan I. Masjid waktu itu masih khusus untuk keluarga kraton.
Mulai Tjakraadiningrat ke VII pemerintahan berupa kesultanan dan penggantinya Sultan R. Abd. Kadirun (Sultan Bangkalan ke II) memerintah tahun 1847. Dalam kurun pemerintahan Sultan R. Abd. Kadirun, tepatnya pada hari Jum’at Kliwon tanggal 14 Jumadil Akhir 1234 H atau 10 April 1819 M sesudah Sholat Jum’at, tiang agung dipancangkan (pemugaran yan pertama) dengan ukuran 30 m x 30 m, dan waktu itu diresmikan sebagai wakaf/dijadikan Masjid Umum (Jami).
Para sesepuh Bangkalan menyatakan bahwa Masjid Jami’ Kota Bangkalan dibina oleh Panembahan Sidomukti dan diwakafkan oleh Sultan R. Abd. Kadirun yang wafat pada tanggal 11 safar 1236 H (tahun 1847) dimakamkan di kompleks tanah Masjid/dibelakang Masjid yang disebut Cungkup. Sedang tulisan (kaligrafi) yang tertera disekeliling Masjid ditulis oleh R. Moh. Zaid yang kemudian diberi gelar Raden Mas Kayadji.
PEMUGARAN MASJID AGUNG BANGKALAN
Dalam pemugaran Masjid Jami’ tersebut berkembang cerita bahwa sewaktu Sultan berkenan hendak meluaskan dan membangun Masjid yang agung dan berwibawa, beliau memerintahkan untuk mencari kayu jati 4 batang yang besar dan tingginya sama untuk tiang agung dan ternyata hanya memperoleh 3 batang, sedang yang satu batang besarnya sama namun tingginya kurang dan kurang lurus, sedang waktu untuk mencari sudah tidak ada lagi.
Dalam keadaan yang demikian, maka tampillah seorang Ulama yang bernama K. Nalaguna (makamnya dikampung Barat Tambak Desa Pejagan Bangkalan) yang kemudian dikenal sebagai Empu Bajraguna (ahli membuat senjata/keris) yang bersedia untuk mengusahakan agar kayu tersebut dimandikan dan dibungkus dengan kain putih dan dikirap keliling kota, dan setelah dikirap kain pembungkusnya dibuka, ternyata berkat karomah Ulama tersebut kayu itu sama tinggi dan besarnya, sehingga tepat pada waktu yang telah ditentukan. Kayu tersebut dipancangkan disebelah muka bagian utara yang kemudian tiang tersebut diambil dari Arosbaya tanpa menggunakan alat pengangkut (transport), cukup dengan gotong royong masyarakat dengan cara sambung menyambung (bahasa madura Lorsolor).
Subscribe to:
Posts (Atom)