PROUD TO BE INDONESIAN, MAY ALLAH SWT ALWAYS SAVE AND BLESS INDONESIA....

Friday, July 8, 2011

Upacara Kasada (Kasodo) dan Pura Luhur Poten Gunung Bromo

Sejak Jaman Majapahit konon wilayah yang mereka huni adalah tempat suci, karena mereka dianggap abdi–abdi kerajaan Majapahit. Sampai saat ini mereka masih menganut agama hindu, Setahun sekali masyarakat tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada. Upacara ini berlokasi disebuah pura yang berada dibawah kaki gunung bromo. Dan setelah itu dilanjutkan kepuncak gunung Bromo. Upacara dilakukan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama dibulan Kasodo menurut penanggalan Jawa.

Legenda Asal Mula Upacara Kasada
Menurut ceritera, asal mula upacara Kasada terjadi beberapa abad yang lalu. Pada masa pemerintahan Dinasti Brawijaya dari Kerajaan Majapahit. Sang permaisuri dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Roro Anteng, setelah menjelang dewasa sang putri mendapat pasangan seorang pemuda dari kasta Brahma bernama Joko Seger.

Pada saat Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran dan bersamaan mulai menyebarnya agama Islam di Jawa, beberapa punggawa kerajaan dan beberapa kerabatnya memutuskan untuk pindah ke wilayah timur, dan sebagian menuju di kawasan Pegunungan Tengger termasuk pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.

Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger membangun pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger, maksudnya "Penguasa Tengger Yang Budiman". Nama Tengger diambil dari akhir suku kata nama Rara Anteng dan Jaka Seger.

Kata Tengger berarti juga Tenggering Budi Luhur atau pengenalan moral tinggi, simbol perdamaian abadi. Dari waktu ke waktu masyarakat Tengger hidup makmur dan damai, namun sang penguasa tidaklah merasa bahagia, karena setelah beberapa lama pasangan Rara Anteng dan Jaka Tengger berumahtangga belum juga dikaruniai keturunan. Kemudian diputuskanlah untuk naik ke puncak gunung Bromo untuk bersemedi dengan penuh kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa agar karuniai keturunan.

Tiba-tiba ada suara gaib yang mengatakan bahwa semedi mereka akan terkabul namun dengan syarat bila telah mendapatkan keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo, Pasangan Roro Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya dan kemudian didapatkannya 25 orang putra-putri, namun naluri orang tua tetaplah tidak tega bila kehilangan putra-putrinya. Pendek kata pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger ingkar janji, Dewa menjadi marah dengan mengancam akan menimpakan malapetaka, kemudian terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita kawah Gunung Bromo menyemburkan api.

Kesuma anak bungsunya lenyap dari pandangan terjilat api dan masuk ke kawah Bromo, bersamaan hilangnya Kesuma terdengarlah suara gaib :"Saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orang tua kita dan Hyang Widi menyelamatkan kalian semua.

Hiduplah damai dan tenteram, sembahlah Hyang Widi. Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji kepada Hyang Widi di kawah Gunung Bromo. Kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo.

Pura Luhur Poten Gunung Bromo

Sebagai pemeluk agama Hindu Suku Tengger tidak seperti pemeluk agama Hindu pada umumnya, memiliki candi-candi sebagai tempat peribadatan, namun bila melakukan peribadatan bertempat di punden, danyang dan poten.

Poten merupakan sebidang lahan di lautan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara Kasada. Sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Tengger yang beragama Hindu, poten terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalam suatu susunan komposisi di pekarangan yang dibagi menjadi tiga Mandala/zone, yaitu :

Mengenal Kebudayaan dan Rumah Adat Bali

KEBUDAYAAN DAN AGAMA

Dalam melihat tata budaya dari berbagai suku di Indonesia , bentuk budaya Bali telah berkembang dengan ciri dan kepribadian tersendiri.

Dari sudut arsitektur tradisional, peranan agama dan kebudayaan dipengaruhi kebudayaan Cina dan India yang melebur ke dalam ajaran agama mereka yaitu Hindu-Budha, sehingga peranannya sangat mendalam dan dijadikan pangkal untuk mencipta, petunjuk petunjuk ini dikenal dengan nama Hasta Bumi,
Hasta Kosala Kosali,Hasta Patali, sikuting umah, dan lain-lain yang berisikan berbagai petunjuk , pantangan, tata cara perencanaan, pelaksanaan dan lain-lain dalam mendirikan suatu bangunan .Pengaruhnya terlihat pada

• BENTUK
Dari segi perbandingan ukuran setiap unsur bangunan dan pekarangan berpangkal kepada ukuran kepala dan badan manusia terutama ukuran tubuh kepala keluarga (yang punya rumah) secara fisik dan tingkat kastanya.
Bentuk rumah Bali, pada dasarnya bukan merupakan suatu organisasi ruangan dibawah satu atap , tetapi beberapa bangunan yang masing-masing dengan fungsinya tertentu di dalam satu lingkungan atau satu tembok.

Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah:

* Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga
* Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala
* Konsep keseimbangan kosmologi
* Konsep proporsi dan skala manusia
* Konsep court, Open air
* Konsep kejujuran bahan bangunan

Adapula beberapa ketentuan-ketentuan bangunan di Bali:
1. Tempat/ denah berdasarkan Lontar Asta Bhumi.
2. Bangunan/ konstruksinya berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala/ Kosali.
3. Bahan- bahan/ ramuan berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala/ Kosali, seperti : kayu, ijuk, alang- alang, batu alam, bata dan sebagainya

Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya rumah. Pengukurannya pun tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti




MENGENAL BUDAYA ADAT PERNIKAHAN/PESAKAPAN DI BALI





Upacara pernikahan merupakan momen yang sangat penting dalam perjalanan hidup manusia, tidak jauh berbeda dengan kebanyakan daerah di pelosok dunia yang memiliki peradaban. Upacara pernikahan di pandang sangat mulia, sama pentingnya dengan upacara- upacara seperti: kelahiran dan kematian.
Karena itu banyak diantaranya yang berharap agar upacara pernikahan ini sedapat mungkin hanya dilaksanakan satu kali dalam hidupnya.
Di Bali upacara pernikahan ini disebut dengan upacara "Mesakapan atau Pewiwahan", yang artinya menyatukan kedua insan yang berlainan jenis , yang saling mencintai kedalam suatu ikatan yang amat suci.
Bagi kebanyakan orang di Bali tentunya hal ini sudah sangat di pahami, karena merupakan bagian dari upacara yang termasuk pada golongan upacara utama dalam tatanan adat istiadatnya.
Tapi tidak apa, hal ini Saya ceritakan kembali dengan maksud agar keindahan budaya adat istiadat ini, juga dapat dimengerti oleh masyarakat umum, paling sedikit mereka juga dapat menikmati makna dibalik keindahan dalam tatanan adat budaya yang ada.

Sedikit mengenai upacara mesakapan atau pewiwahan ini, Saya ambil dari sebuah buku yang cukup populer di Bali saat ini, dengan judul " Upacara Manusia Yadnya" yang ditulis oleh: Rsi Bintang Dhanu, I.N. Djoni Gingsir, di dalam bukunya beliau menjelaskan tahap demi tahap, jalannya upacara mesakapan ini dengan amat sistimatis dan sederhana, sehingga mudah untuk dimengerti oleh masyarakat umum.
Sesuai dengan judul buku tersebut, kebanyakan upacara-upacara dalam ajaran Hindu di bali di golongkan menurut jenis-jenis yandnyanya, termasuk upacara mesakapan atau pewiahan ini.

Macam-macam Tanaman Hias Penyedot Racun di Udara

Tanaman hias ternyata tidak hanya berguna untuk mempercantik interior maupun eksterior rumah. Jenis tanaman tertentu, bisa melindungi Anda dan keluarga dari bahaya polutan rumah bagi kesehatan.

Perlu Anda tahu, pencemaran udara tidak hanya mengancam kesehatan saat kita di luar, tapi juga di dalam rumah. Ada beberapa jenis gas udara yang berbahaya (polutan) yang betah bersarang di dalam ruangan dan berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan.

Formaldehyde, volatile organis compunds, karbon monoksida, nitrogen oksida, pestisida dan disinfektan adalah polutan yang banyak terdapat di dalam rumah. Polutan ini bisa menimbulkan ‘sindrom bangunan sakit’, yang menyebabkan berbagai penyakit seperti alergi, sakit kepala, mudah lelah bahkan kanker dan kematian.

Para ilmuwan NASA telah menemukan sejumlah tanaman hias yang bisa dijadikan senjata ampuh untuk melawan polusi udara, menjadikan udara di ruangan lebih bersih. Tidak hanya di dalam rumah, tapi juga gedung dan perkantoran. Ini dia jenis tanaman hias ‘penyedot’ racun yang bisa Anda tempatkan di rumah, seperti yang dikutip dari Earth Easy.

1. Palem Kuning



Palem Kuning, atau Areca Palm merupakan jenis tanaman rumah dengan pelepah daun cukup panjang dan menutupi batang yang beruas-ruas. Rata-rata tinggi pohon ini bisa mencapai 1-6 meter. Pohon ini harus ditaruh di tempat yang lembab agar tidak rusak, tapi pada dasarnya palem kuning bisa disimpan di mana saja, terutama di sebelah furnitur yang baru dipernis. Jenis palem ini mampu menyedot polutan yang berasal dari senyawa formaldehyde.

2. Palem Bambu



Tanaman ini memerlukan cahaya terang untuk tumbuh subur. Pohon ini tumbuh subur di area lembab, tapi jaga agar tidak terlalu banyak disirami air. Meskipun berfungsi menyedot polutan, palem bambu mungkin mengundang laba-laba atau serangga. Untuk mengantisipasinya, semprotkan cairan pestisida.

3. Karet Hias



Karet Hias, atau Ficus Robusta (nama latin) adalah salah satu tanaman yang kegunaannya menyerap formaldehid dan menghasilkan oksigen. Daunnya berwarna hijau muda, dan saat dipegang teksturnya kenyal. Oleh karena itu, pohon yang satu ini juga dikenal dengan sebutan Rubber Plant. Karet Hias sebaiknya tidak ditaruh di tempat terlalu terang, terutama di bawah sinar matahari. Tempatkan di dalam ruangan dengan sedikit pancaran sinar.

ARKEOLOGI KLASIK (MASA HINDU-BUDHA) dan MASA ISLAM DI INDONESIA

clip_image004
Foto 1. Beberapa Peninggalan Kepurbakalaan Masa
Pengaruh Hindu-Budha di Indonesia

Arkeologi Klasik adalah salah satu spesialisasi dari beberapa bidang spesialisasi dalam dunia penelitian arkeologi di Indonesia, berdasarkan waktu atau masa pengaruh kebudayaan tertentu. Arkeologi Klasik di Indonesia merupakan kajian arkeologi yang objek penelitiannya meliputi semua peninggalan purbakala yang mendapat pengaruh dari kebudayaan India, meskipun kenyataannya tinggalan-tinggalan purbakala tersebut berbeda jauh dari asalnya. Hal ini disebabkan adanya kehebatan dari nenek moyang kita dalam memadukan kebudayaan lokal dengan kebudayaan dari India.
Dalam Arkeologi Klasik, objek penelitiannya meliputi peninggalan dari masa Hindu-Budha, yang berupa Arca-arca, Bangunan Candi/Biara, serta Sejarah Sosial dan kebudayaan yang dipengaruhi oleh kebudayaan India (Agama, Sistem Pemerintahan, Perdagangan, dan lain-lain).
Tujuan dari penelitian bidang Arkeologi Klasik adalah mengungkapkan aspek-aspek kehidupan manusia masa pengaruh kebudayaan Hindu-Budha melalui peninggalan kepurbakalaannya yang berupa bangunan candi/biara, arca-arca, dan lain-lainnya.

ARKEOLOGI MASA ISLAM DI INDONESIA
Arkeologi Islam adalah salah satu spesialisasi dari beberapa bidang spesialisasi dalam dunia penelitian arkeologi di Indonesia, berdasarkan pembagian waktu atau masa pengaruh kebudayaan tertentu. Arkeologi Islam di Indonesia merupakan kajian arkeologi yang objek penelitiannya meliputi semua peninggalan purbakala yang mendapat pengaruh dari kebudayaan Islam baik dari Timur Tengah, Gujarat, ataupun Cina.
Dalam Arkeologi Islam, objek penelitiannya meliputi peninggalan dari masa Islam, yang berupa berupa Nisan Makam, Bangunan Mesjid, Bangunan Keraton, serta Sejarah Sosial dan kebudayaan yang dipengaruhi oleh kebudayaan Islam (Agama, Sistem Pemerintahan, Perdagangan, dan lain-lain).
Tujuan dari penelitian bidang Arkeologi Islam adalah mengungkapkan aspek-aspek kehidupan manusia masa pengaruh kebudayaan Islam melalui peninggalan kepurbakalaannya.
clip_image008
Foto 2. Beberapa bentuk peninggalan purbakala dari masa Islam
ARKEOLOGI EPIGRAFI DI INDONESIA
clip_image012
Foto 3. Beberapa peninggalan epigrafi yang berupa prasasti dari masa Klasik dan Islam
Arkeologi Epigrafi adalah salah satu spesialisasi dari beberapa bidang spesialisasi dalam dunia penelitian arkeologi di Indonesia. Arkeologi Epigrafi merupakan kajian arkeologi yang objek penelitiannya meliputi semua peninggalan purbakala yang berupa Inskripsi (Tulisan) kuno yang dituliskan pada batu, kayu, logam, daun lontar, naskah-naskah kuno, atau medium tulis lainnya, yang berasal dari masa lalu.
Dalam Arkeologi Epigrafi, objek penelitiannya meliputi peninggalan Prasasti, Naskah-naskah Kuno, dan tulisan kuno lainnya yang berasal dari masa Klasik (Hindu-Budha) dan masa Islam/Kolonial.
Tujuan dari penelitian bidang Arkeologi Epigrafi adalah mengungkapkan aspek-aspek kehidupan manusia masa lalu melalui penafsiran dari isi tulisan yang terdapat pada prasasti atau naskah-naskah kuno, data-data tersebut merupakan data kesejarahan masa lalu.

sumber : http://balai-arkeologi-medan.web.id/

Sejarah dan Asal Usul Lomba Karapan Sapi di Madura

Bagi masyarakat Madura, karapan sapi bukan sekadar sebuah pesta rakyat yang perayaannya digelar setiap tahun. Karapan sapi juga bukan hanya sebuah tradisi yang dilaksanakan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karapan sapi adalah sebuah prestise kebanggaan yang akan mengangkat martabat di masyarakat.

Sejarah asal mula Kerapan Sapi tidak ada yang tahu persis, namun berdasarkan sumber lisan yang diwariskan secara turun temurun diketahui bahwa Kerapan Sapi pertama kali dipopulerkan oleh Pangeran Katandur yang berasal dari Pulau Sapudi, Sumenep pada abad 13.

Awalnya ingin memanfaatkan tenaga sapi sebagai pengolah sawah. Brangkat dari ketekunan bagaimana cara membajak sapinya bekerja ,mengolah tanah persawahan, ternyata berhasil dan tanah tandus pun berubah menjadi tanah subur.

Melihat gagasan bagus dan membawa hasil positif, tentu saja warga masyarakat desa mengikuti jejak Pangerannya. Akhirnya tanah di seluruh Pulau Sapudi yang semula gersang, menjadi tanah subur yang bisa ditanami padi. Hasil panenpun berlimpah ruah dan jadilah daerah yang subur makmur.

Setelah masa panen tiba sebagai ungkapan kegembiraan atas hasil panen yang melimpah Pangeran Ketandur mempunyai inisiatif mengajak warga di desanya untuk mengadakan balapan sapi. Areal tanah sawah yang sudah dipanen dimanfaatkan untuk areal balapan sapi. Akhirnya tradisi balapan sapi gagasan Pangeran Ketandur itulah yang hingga kini terus berkembang dan dijaga kelestariannya. Hanya namanya diganti lebih populer dengan “Kerapan Sapi”.

Bagi masyarakat Madura, Kerapan Sapi selain sebagai tradisi juga sebagai pesta rakyat yang dilaksanakan setelah sukses menuai hasil panen padi atau tembakau. Kerapan sebagai pesta rakyat di Madura mempunyai peran di berbagai bidang. Misal di bidang ekonomi (kesempatan bagi masyarakat untuk berjualan), peran magis religius (misal adanya perhitungan-perhitungan tertentu bagi pemilik sapi sebelum bertanding dan adanya mantra-mantra tertentu), bidang seni rupa (ada pada peralatan yang mempunyai hiasan tertentu), bidang seni tari dan seni musik saronen (selalu berubah dan berkembang).



Anatomi Kerapan

Pengertian kata “kerapan” adalah adu sapi memakai “kaleles”. Kaleles adalah sarana pelengkap untuk dinaiki sais/joki yang menurut istilah Madura disebut “tukang tongko”. Sapi-sapi yang akan dipacu dipertautkan dengan “pangonong” pada leher-lehernya sehingga menjadi pasangan yang satu.

Orang Madura memberi perbedaan antara “kerapan sapi” dan “sapi kerap”. Kerapan sapi adalah sapi yang sedang adu pacu, dalam kaedaan bergerak, berlari dan dinamis. Sedang sapi kerap adalah sapi untuk kerapan baik satu maupun lebih. Ini untuk membedakan dengan sapi biasa. Ada beberapa kerapan yaitu “kerrap kei” (kerapan kecil), “kerrap raja’’ (kerapan besar), ‘kerrap onjangan” (kerapan undangan), “kerrap jar-ajaran” (kerapan latihan).

Kaleles sebagai sarana untuk kerapan yang dinaiki tokang tongko dari waktu ke waktu mengalami berbagai perkembangan dan perubahan. Kaleles yang dipakai dipilih yang ringan (agar sapi bisa berlari semaksimal mungkin), tetapi kuat untuk dinaiki tokang tongko (joki).

Sapi kerap adalah sapi pilihan dengan ciri-ciri tertentu. Misalnya berdada air artinya kecil ke bawah, berpunggung panjang, berkuku rapat, tegar tegak serta kokoh, berekor panjang dan gemuk. Pemeliharaan sapi kerap juga sangat berbeda dengan sapi biasa. Sapi kerap sangat diperhatikan masalah makannya, kesehatannya dan pada saat-saat tertentu diberi jamu. Sering terjadi biaya ini tidak sebanding dengan hadiah yang diperoleh bila menang, tetapi bagi pemiliknya merupakan kebanggaan tersendiri dan harga sapi kerap bisa sangat tinggi.

Sapi kerap ada tiga macam yaitu sapi yang “cepat panas” (hanya dengan diolesi bedak panas dan obat-obatan cepat terangsang), sapi yang “dingin” (apabila akan dikerap harus dicemeti berkali-kali), dan sapi “kowat kaso” (kuat lelah, memerlukan pemanasan terlebih dahulu).

Pada waktu akan dilombakan pemilik sapi kerap harus mempersiapkan tukang tongko (joki), “tukang tambeng” (bertugas menahan, membuka dan melepaskan rintangan untuk berpacu), “tukang gettak” (penggertak sapi agar sapi berlari cepat), “tukang gubra” (orang-orang yang menggertak sapi dengan bersorak sorai di tepi lapangan), “tukang ngeba tali” (pembawa tali kendali sapi dari start sampai finish), “tukang nyandak”(orang yang bertugas menghentikan lari sapi setelah sampai garis finish), “tukang tonja” (orang yang bertugas menuntun sapi).

Beberapa peralatan yang penting dalam kerapan sapi yaitu kaleles dan pangonong, “pangangguy dan rarenggan” (pakaian dan perhiasan), “rokong” (alat untuk mengejutkan sapi agar berlari cepat). Dalam kerapan sapi tidak ketinggalan adanya “saronen” (perangkat instrumen penggiring kerapan). Perangkatnya terdiri dari saronen, gendang, kenong, kempul, krecek dan gong.

Pesta Rakyat

Umumnya sebuah pesta rakyat, penyelenggaraan Kerapan Sapi juga sangat diminati oleh masyarakat Madura. Setiap kali penyelenggaraan Kerapan Sapi diperkirakan masyarakat yang hadir bisa mencapai 1000-1500 orang. Dalam pesta rakyat itu berabagai kalangan maupun masyarakat Madura berbaur menjadi satu dalam atmosfir sportifitas dan kegembiraan.

Sisi lain yang menarik penonton dari karapan sapi adalah kesempatan untuk memasang taruhan antarsesama penonton. Jumlah taruhannya pun bervariasi, mulai dari yang kelas seribu rupiahan sampai puluhan, bahkan ratusan juta rupiah. Biasanya penonton yang berdiri disepanjang arena taruhannya kecil, tidak sampai jutaan. Tetapi, para petaruh besar, sebagian besar duduk di podium atau hanya melihat dari tempat kejauhan. Transaksinya dilakukan di luar arena, dan biasanya berlangsung pada malam hari sebelum karapan sapi dimulai.

Adu Gengsi


Pemilik sapi karapan memperoleh gengsi yang tinggi manakala mampu memenangkan lomba tradisional tersebut. Selain itu, harga pasangan sapi pemenang karapan langsung melambung. Mislnya, harga sapi yang memenangkan lomba Karapan Sapi 2003 melambung menjadi Rp200 juta dari 2 tahun sebelumnya hanya Rp40 juta.

Untuk membentuk tubuh pasangan sapi yang sehat membutuhkan biaya hingga Rp4 juta per pasang sapi untuk makanan maupun pemeliharaan lainnya. Maklum, sapi karapan diberikan aneka jamu dan puluhan telur ayam per hari, terlebih-lebih menjelang diadu di arena karapan. Berdasarkan tradisi masyarakat pemilik sapi karapan, maka hewan tersebut menjelang diterjunkan ke arena dilukai di bagian pantatnya yakni diparut dengan paku hingga kulitnya berdarah agar dapat berlari cepat. Bahkan luka itu diberikan sambal ataupun balsem yang dioles-oleskan di bagian tubuh tertentu antara lain di sekitar mata.

Sehari sebelum lomba dilaksanakan, pasangan sapi dan pemilik serta sejumlah kerabatnya menginap di tenda yang dipasang di lapangan. Tidak lupa rombongan itu dimeriahkan oleh kelompok musik tradisional Sronen yang mengarak pasangan sapi menjelang dipertandingkan. Bahkan jasa dukun pun diperlukan dalam kegiatan karapan sapi. Para “penggila” Kerapan Sapi melakukan itu semua demi sebuah gengsi atau prestise yang memang merupakan watak khas orang Madura.

sumber : http://www.adipedia.com/

Melihat Keindahan Candi Gedong Songo

Baru saja menjejakkan kaki di Candi pertama, rasa penat kaki mulai terasa. Saat itulah para tukang kuda mulai menawarkan kudanya untuk disewa guna menapaki candi-candi berikutnya yang semakin tinggi sesuai dengan urutannya. Candi Gedong Songo, yang berarti sembilan candi dengan lokasi yang paling tinggi adalah candi dengan angka paling besar.

Kata Gedong berarti bangunan dan songo berarti sembilan sehingga kurang lebih berarti candi yang berjumlah sembilan. Candi yang terletak di Gunung Ungaran dengan ketinggian 1200 – 1800 meter diatas permukaan laut ini memang sangat unik. Pada awalnya disebut Gedong Pitoe karena pertama kali ditemukan oleh Rafles hanya terdiri dari tujuh bangunan candi. Namun kemudian ditemukan dua candi lagi walaupun dalam keadaan tidak utuh. Candi-candi yang terbuat dari batu andesit tersebut telah dipugar oleh Dinas Purbakala, yaitu candi I & II dipugar tahun 1928 – 1929, sedangkan candi III, IV, V dipugar tahun 1977 – 1983.

Tampak depan dari salah satu candi

Candi-candi yang terletak di Gunung Ungaran ini diyakini sebagai Candi Hindu dengan ditemukannya arca-arca Hindu yang terletak didalam dan disekitar lokasi candi. Diantaranya dengan ditemukannya arca Ciwa Mahadewa, Ciwa Mahaguru, Ganeca, Durga Mahisasura Mardhini, Nandi Swara, Mahakala dan Yoni yang ada di bilik candi. Keistimewaan yang lain dari Candi Gedong Songo adalah terletak pada arca gajah dalam posisi jongkok di kaki Candi Gedong III, dan Yoni dalam bentuk persegi panjang pada bilik Candi Gedong I.

Lokasi candi yang terletak diantara bukit dan pepohonan
Seekor kuda yang sedang merumput. Kuda ini bisa disewa untuk mengunjungi candi-candi di Gedongsongo yang memiliki jarak relatif jauh
Gerbang masuk ke lokasi Candi Gedongsongo
Lokasi penjualan tiket masuk kawasan wisata Gedongsongo

Mengenai kapan berdirinya Candi Gedong Songo tidak ada yang tahu pasti, namun diperkirakan oleh para ahli bahwa candi-candi tersebut telah dibuat semasa dengan Candi Dieng yang dibuat pada kurun waktu abad VII – IX Masehi pada masa Dinasti Syailendra. Hal ini diketahui dari artefak-artefak yang ditinggalkan di sekitar lokasi candi, serta adanya kemiripan-kemiripan fisik antara Candi Gedong Songo dan Candi Dieng. Lokasi kedua candi yang terletak di ketinggian gunung semakin menambah keyakinan bahwa kedua candi tersebut dibangun pada masa yang sama.

Untuk mencapai candi ini tergolong sangat mudah, baik menggunakan angkutan umum, angkutan pribadi, jenis mobil sedan ataupun jenis minibus. Candi yang terletak di Desa Candi kecamatan Ambarawa ini hanya berjarak 39 km dari kota Semarang atau hanya 20 menit perjalanan dengan kendaraan bermotor dalam kecepatan 70 km / jam . Praktis dari Semarang menuju tempat ini relatif lancar karena jalan yang lebar dan mulus serta melewati beberapa lampu merah saja.

Sesaat setelah sampai di daerah Bandungan, kemudian belok ke kiri dan ikuti jalan terus sampai Pasar Bandungan. Sesampainya di Pasar Bandungan ambil arah kiri kurang lebih 7 km sampailah kita di Candi Gedong Songo. Setelah melewati pasar ini, kita harus berhati-hati karena jalanan yang hanya pas untuk dua mobil dengan tanjakan dan kelokan yang tajam. Bahkan di beberapa ruas jalan ada yang mencapai kimiringan 45 – 50 derajat. Karena itu, kalau mobil anda dalam keadaaan tidak sehat jangan coba-coba membawa kendaraan sendiri ke lokasi Candi Gedong Songo.

Memasuki wilayah candi ini udara sejuk mulai terasa dengan angin khas pegunungan yang mendayu-dayu. Shelter yang cukup luas bisa memuat puluhan mobil, serta pintu masuk candi yang hanya beberapa meter dari lokasi parkir semakin mempermudah para wisatawan untuk mencapai lokasi ini. Dengan hanya membayar tiket masuk sebesar Rp. 2,000,- kita bisa memasuki dan mengitari lokasi candi sepuas-puasnya.

Boleh dikatakan kalau Candi Gedong Songo tidak hanya menawarkan wisata sejarah, namun juga menawarkan wisata keindahan alam juga wisata olah raga. Candi yang terletak di ketinggian Gunung Ungaran ini memang menampilkan pesona alam yang luar biasa karena lokasinya yang terletak di ketinggian gunung. Selepas gerbang masuk Candi, berjalan sedikit ke atas sudah terlihat lokasi candi pertama yang merupakan candi yang terletak di lokasi yang paling bawah.

Bersamaan dengan itu biasanya ada orang yang akan mengikuti kita. Tapi jangan takut, biasanya orang tersebut menawarkan jasa menunggang kuda. Kalau kita ingin menjajal tingginya candi dengan jalan kaki tolak saja secara halus untuk tidak memakai kuda, tapi kalau tidak ingin terlalu capai bisa naik kuda dan dikenakan biaya Rp. 40,000,- per kuda untuk mengitari seluruh areal candi. Namun sebagai saran lebih baik kita naik kuda, karena selain lebih menghemat tenaga, kita bisa leluasa menikmat indahnya alam sekitar dengan santai.

Setelah candi demi candi dilalui, sampailah kita pada lokasi candi yang keempat. Di depan lokasi candi keempat terdapat lapangan yang cukup luas, kurang lebih dua kali lapangan sepakbola dan datar. “Lapangan ini biasanya dipakai untuk bermain sepakbola oleh warga sekitar, buat perkemahan atau buat acara-acara tertentu,” begitu tutur Pak Slamet salah satu pegawai Candi Gedong Songo ini. Pemandangan lain, yaitu sumber air panas alam kita juga bisa temui antara perjalanan antara lokasi candi ketiga dan keempat. Disamping sumber air panas tersebut, disediakan tempat mandi dengan tempat tertutup, sehingga buat yang mau menikmati sumber air panas bisa meluangkan waktu ntuk mandi.

Akhirnya sampailah kita pada lokasi candi yang kelima atau merupakan lokasi candi terakhir dan tertinggi. Begitu memasuki pelatarannya, kita bisa bebas memandang ke bawah, bahkan kalau cuaca sedang cerah berturut-turut bisa kita lihat dari sisi selatan candi, yaitu Gunung Telomoyo, Gunung Merbabu, Gunung Andong dan Gunung Merapi. Berlama-lama duduk di lokasi candi yang kelima ini memang sangat mengasyikkan, sampai-sampai tak terasa waktu makin sore dan Sang Tukang Kuda menghampiri untuk mengajak turun kembali.

Ketika ditanya kepada Pak Latif, Si Tukang Kuda, “ Mana empat candi lainnya Pak ? kan jumlahnya ada sembilan candi,”Tanya saya. “ Candi-candi yang lain sudah tidak utuh alias hanya berupa batu-batuan yang terlihat semacam situs,”jawab Pak Latif. Akhirnya kami turun dengan melewati jalan yang berbeda ketika kami naik, dengan melewati kebun-kebun sayuran milik penduduk sekitar. Rasa puas terasa di hati setelah puas mengelilingi areal Candi Gedong Songo, nilai sejarahnya, keindahan alamnya selalu mengajak kita kembali ke sana.

Source: http://www.navigasi.net/goart.php?a=bucagdsn
Dikutip dari : http://www.adipedia.com/

Thursday, July 7, 2011

Perkembangan Arkeologi di Indonesia

Di Indonesia, perkembangan arkeologi dimulai dari lembaga-lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan, seperti Bataviaashe Genootshcap van Kunsten en Wettenschappen yang kemudian di Jakarta mendirikan museum tertua, sekarang menjadi Museum Nasional. Lembaga pemerintah pada masa kolonial yang bergerak di bidang arkeologi adalah Oudheidkundige Dienst yang banyak membuat survei dan pemugaran atas bangunan-bangunan purbakala terutama candi. Pada masa kemerdekaan, lembaga tersebut menjadi Dinas Purbakala hingga berkembang sekarang menjadi berbagai lembaga seperti Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala dan Balai Arkeologi yang tersebar di daerah-daerah dan Direktorat Purbakala serta Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional di Jakarta. Di samping itu, terdapat beberapa perguruan tinggi yang membuka jurusan arkeologi untuk mendidik tenaga sarjana di bidang arkeologi. Perguruan-perguruan tinggi tersebut adalah Universitas Indonesia (Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya), Universitas Gadjah Mada (Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya), Universitas Hasanuddin (Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra), dan Universitas Udayana (Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra).

Oudheidkundige Dienst atau Jawatan Purbakala adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda untuk mengelola bidang kepurbakalaan. Tugas dari lembaga tersebut antara lain adalah menyusun, membuat daftar, serta mengawasi peninggalan purbakala di seluruh wilayah Indonesia. Lembaga ini juga bertugas merencanakan dan melakukan pemugaran, melakukan pengukuran dan penggambaran, serta melakukan penelitian. Oudheidkundige Dienst dibentuk pada tanggal 14 Juni 1913.

Setelah Indonesia merdeka, lembaga ini berubah menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional.

Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) adalah unit pelaksana teknis (UPT) dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia yang berada di daerah. Balai ini berada di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. Sebelumnya, lembaga ini bernama Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP).

Sesuai dengan keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. KM. 51/OT.001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003 tentang Organisasi dan Tatakerja Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, fungsi dari lembaga ini adalah sebagai berikut.
  1. Melaksanakan pemeliharaan, pengelolaan, dan pemanfaatan peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs peninggalan arkeologi bawah air.
  2. Melaksanakan perlindungan peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs termasuk yang berada di lapangan maupun yang tersimpan di ruangan.
  3. Melaksanakan pemugaran peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs termasuk yang berada di lapangan maupun yang tersimpan di ruangan.
  4. Melaksanakan dokumentasi peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs termasuk yang berada di lapangan maupun yang tersimpan di ruangan.
  5. Melaksanakan penyidikan dan pengamanan terhadap peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs termasuk yang berada di lapangan maupun di ruangan.
  6. Melaksanakan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat tentang peninggalan sejarah dan purbakala.
  7. melaksanakan penetapan benda cagar budaya (BCB) bergerak di wilayah kerja Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.
  8. Melaksanakan usuran tata usaha dan rumah tangga Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.

Ahli arkeologi Indonesia, yang umumnya merupakan lulusan dari keempat perguruan tinggi tersebut, berhimpun dalam Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Tokoh-tokoh arkeologi Indonesia yang terkenal antara lain adalah R. Soekmono yang mengepalai pemugaran Candi Borobudur, dan R.P. Soejono, yang merupakan pendiri dan ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia pertama dan mantan kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Disiplin Arkeologi Indonesia masih secara kuat diwarnai dengan pembagian kronologis, yaitu periode Prasejarah, periode Klasik (zaman Hindu-Buddha), periode Islam, serta periode Kolonial. Oleh karena itu, dalam arkeologi Indonesia dikenal spesialisasi menurut periode, yaitu Arkeologi Prasejarah, Arkeologi Klasik, Arkeologi Islam, serta Arkeologi Kolonial. Satu keistimewaan dari arkeologi Indonesia adalah masuknya disiplin Epigrafi, yang menekuni pembacaan prasasti kuna. Pada perkembangan sekarang telah berkembang minat-minat khusus seperti etnoarkeologi, arkeologi bawah air, dan arkeometri. Terdapat pula sub-disiplin yang berkembang karena persinggungan dengan ilmu lain, seperti Arkeologi Lingkungan atau Arkeologi Ekologi, Arkeologi Ekonomi, Arkeologi Seni, Arkeologi Demografi, dan Arkeologi Arsitektur.

Arkeologi Prasejarah adalah sub-bidang arkeologi yang mempelajari kebudayaan manusia pada zaman prasejarah. Zaman prasejarah sendiri bermula sejak keberadaan manusia di muka bumi dan berakhir ketika dikenal adanya tulisan. Masa berakhirnya masa prasejarah berbeda-beda bagi setiap suku bangsa karena perbedaan waktu dalam mengenal tulisan.

Peninggalan arkeologi prasejarah dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu peninggalan bergerak dan peninggalan tidak-bergerak. Peninggalan bergerak antara lain adalah alat-alat batu, perhiasan batu, peralatan dan perhiasan dari tulang dan kulit kerang, serta gerabah. Sementara itu, peninggalan tak-bergerak antara lain adalah bangunan megalitik dan gua hunian. Tidak banyak peninggalan yang terbuat dari bahan organik karena besar kemungkinan telah musnah seiring dengan perjalanan waktu.

Tokoh arkeologi prasejarah di Indonesia antara lain adalah Prof. Dr. R.P. Soejono, Prof. Dr. Sumijati Atmosudiro, Dr. Daud Aris Tanudirjo, Dr. Harry Widianto, dan Dr. Mahirta. Sementara itu, kajian prasejarah di Indonesia dirintis oleh para ahli dari Belanda, seperti Dr. P.V. van Stein Callenfels yang dianggap sebagai Bapak Prasejarah Indonesia.

Arkeologi Klasik merupakan salah satu bidang kajian dalam ilmu arkeologi di Indonesia yang dimulai sejak dikenalnya tulisan sampai masuknya pengaruh kebudayaan Barat di Indonesia. Bidang kajian ini dimulai sejak abad 4 Masehi dengan mengacu pada prasasti Yupa yang ditemuka di Kalimantan Timur sampai runtuhnya Kerajaan Majapahit pada abad ke-16. Pada rentang waktu itu di nusantara sedang berkembang kebudayaan yang dipengaruhi oleh kebudayaan India yang bernafaskan agama Hindu dan Buddha. Pada masa ini selain kedua agama tersebut juga ditemukan agama "baru" yang merupakan sinkretisme Hindu dan Buddha. Bukti adanya sinkretisme agama pada masa pengaruh kebudayaan Hindu-Budha ini ditandai dengan ditemukannya bangunan candi dan arca-arca yang mencerminkan perpaduan antara kedua agama, misalnya candi Jago dan candi Jawi di Malang, Jawa Timur. Adapun yang dikaji dalam arkeologi klasik antara lain candi, bekas-bekas kraton, petirtaan, arca, prasasti, keramik, mata uang, dan artefak-artefak lainnya yang berasal dari kurun waktu antara abad ke-4-15 Masehi.

Epigrafiadalah suatu cabang arkeologi yang berusaha meneliti benda-benda bertulis yang berasal dari masa lampau. Salah satu contohnya adalah prasasti. Prasasti merupakan sumber bukti tertulis (berupa tulisan ataupun gambar) pada masa lampau yang dapat memberikan informasi mengenai peristiwa dimasa lampau, asal-usul seorang raja atau tokoh atau genealogi maupun penanggalan.

Tujuan arkeologi adalah merekonstruksi sejarah masa lampau berdasarkan apa yang dapat ditemukan kembali dengan ketrampilan dan penguasaan metode ekskavasi pada benda-benda masa lampau. Jika benda tinggalan tersebut berupa prasasti maka ahli epigrafi akan mengelolanya agar dapat diketahui kapan terjadinya, siapa tokoh pemerintahannya serta apa isi yang terkandung pada prasasti tersebut.Ahli epigrafi mempunyai kemampuan menganalisis prasasti dengan kemampuannya untuk membaca tulisan kuno, baik berupa huruf kuno maupun bahasa kuno.

Tugas seorang ahli epigrafi sekarang ini tidak saja meneliti prasasti-prasasti yang belum di publikasikan melainkan juga meneliti kembali prasasti yang baru terbit dalam transkripsi sementara. Kemudian ahli epigrafi tersebut harus menterjemahkan prasasti itu ke dalam bahasa yang digunakan saat ini sehingga para peneliti lain, khususnya ahli-ahli sejarah dapat menggunakan berbagai macam keterangan yang terkandung di dalam prasasti-prasasti itu.

Dalam menjalankan tugas-tugasnya, ahli epigrafi banyak menjumpai berbagai macam hambatan. Menurut arkeolog Indonesia yang menekuni bidang epigrafi yaitu Drs.Hasan Djafar, masalah yang pertama adalah karena banyak prasasti terutama prasasti batu, yang sudah demikian usang sehingga sulit untuk membacanya. Ia harus membaca bagian-bagian yang usang tersebut berkali-kali sampai mendapatkan pembacaan yang memuaskan. Dengan menguasai bentuk huruf kuno dengan segala lekuk likunya, dan dengan senantiasa membanding-bandingkan huruf-hurufnya yang usang itu dengan huruf-huruf yang masih jelas, seorang ahli epigrafi berusaha untuk memperoleh pembacaan yang selengkap-lengkapnya. Kedua, dihadapkan pada waktu menterjemahkan prasasti-prasasti itu. Pengetahuan mengenai bahasa-bahasa kuno yang digunakan dalam prasasti masih belum cukup untuk memahami sepenuhnya makna yang terkandung di dalam naskah-naskah itu.

Ahli epigrafi bak detektif yang mencari tahu mengenai kehidupan maupun peristiwa masa lampau melalui kode-kode rahasia berupa huruf maupun gambar melalui kemampuannya dalam menganalisis. Sehingga masyarakat, khususnya ahli sejarah dan arkeologi, mendapatkan informasi sejarah yang jelas dan valid. Seorang ahli epigrafi dibutuhkan dalam memecahkan sebuah catatan sejarah yang ditulis oleh masyarakat masa lampau agar dapat dimengerti oleh masyarakat saat ini.

Source: http://www.indonesiaindonesia.com/f/91275-ilmu-arkeologi/
 Dikutip dari : http://www.adipedia.com/

Peninggalan Hindu di Mesjid Tua Indrapuri

Mesjid Kuno Indrapuri

Mesjid Kuno Indrapuri/Foto: jejakmihrabmimbar.wordpress.com

BERAWAL dari sebuah candi Hindu, lambat laun berubah menjadi mesjid yang kini telah menjadi salah satu tempat wisata realigi di desa Peukan Indrapuri atau dikenal dengan Indrapuri Pasar, Kabupaten Aceh Besar. Unik dan menarik untuk diketahui, serentetan sejarah masuknya Islam ke Aceh membuat kita tidak akan pernah tahu kisah dari candi Hindu yang sempat dihancurkan lalu menjadi mesjid yang kini masih setia menemani warga setempat untuk beribadah.
Mesjid Indrapuri ini masih tetap terjaga dengan etnik tradisional yang dimilikinya, bentuk serta ukuran yang tidak begitu mewah menambah tanda tanya besar, dari mana asal usulnya mesjid yang berukuran bujursangkar tersebut bisa menyimpan berjuta sejarah Aceh tempo dulu.


Sebelum tahun 1607 M – 1636 M pada masa kesultanan Iskandar Muda berjaya, Indrapuri adalah salah satu daerah yang pernah ditempati oleh orang-orang Hindu di Aceh. Candi Hindu itu dulu juga dikenal dengan benteng atau kerajaan orang Hindu, pada tahun 604 M adik perempuan dari Putra Harsha melarikan diri dari kerajaannya ke Aceh. Lalu setelah menetap di Aceh, Putra Harsha mendirikan kerajaan yang diduga adalah besar kemungkinan Indrapuri sekarang ini seperti yang pernah dikutip oleh waspadamedan.com dalam tulisan “Candi Menjadi Masjid Jamik Indrapuri”.

Selain dugaan dari kerajaan yang didirikan oleh Putra Harsha, ada juga bukti lain yang terdapat diseputaran daerah Indrapuri tersebut seperti adanya perkampungan orang Hindu, yakni yang terletak di kampung Tanoh Abe serta beberapa peninggalan kuburan orang Hindu.

Indrapuri menurut orang-orang Hindu pada zaman itu mempunyai arti Kuta Ratu, selain mendirikan kerajaan di Indrapuri, Putra Harsha juga mendirikan kerajaan lainnya di Ladong, Aceh Besar, menuju ke pelabuhan Malahayati, yang sering dikenal masyarakat sekitar dengan nama benteng Indrapatra.

Mesjid Indrapuri sekarang
Mesjid Indrapuri sekarang/Foto: bangcut.blogspot.com

Jika melihat dari buku “Tawarich Raja-Raja Kerajaan Aceh”, karangan Yunus Djamil menyebutkan bahwa, Indrapuri merupakan bagian dari kerajaan Hindu Indrapurwa, dan salah satunya termasuk benteng Indrapatra tersebut.


Saat kita mau memasuki komplek dari mesjid tua Indrapuri ini, akan disambut dengan penampilan klasik dari kayu-kayu tua yang berdiri kuat di atas pondasi-pondasi benteng yang telah dirubuhkan pada masa pendudukan Belanda dan Portugis saat bertahan di Aceh.

Selain penampilan yang serba sederhana, atap dari mesjid tua ini memang sangat beda dari mesjid-mesjid pada umumnya di Aceh. Berbentuk segi empat atau dikenal dengan tumpang yang tersusun tiga. Susunan kayu-kayu yang saling menyatu menambah kemolekan dari setiap sudut yang terbentuk dalam mesjid ini. Berbagai sisi yang saling menopang tetap menyimpan berbagi bekas sejarah yang sudah dilewati ratusan tahun oleh mesjid tua Indrapuri ini.

Luas area mesjid Indrapuri sekitar 33 meter kubik tersebut, berada dekat dengan jalan raya lintas Banda Aceh-Medan. Jadi sangat mudah bagi yang mau berwisata religius ke Indrapuri, selain mudah dijangkau, juga bisa ditempuh dengan kendaraan pribadi. Dari pusat kota Banda Aceh ke Indrapuri berjarak sekitar 24 km ke arah utara.

Ada satu sejarah penting lagi dari mesjid Indrapuri ini diakhir tahun 1874 M, saat penobatan Tuanku Muhammad Daud Syah menjadi Sultan Kerajaan Aceh Darussalam, mesjid tua Indrapuri juga menjadi saksi bisu.

Sampai saat ini, peninggalan sejarah dari mesjid Indrapuri telah mendapat perhatian dari pemda setempat. Disisi depan kompleks terlihat jelas papan peringatan untuk masyarakat, yang berbunyi “Dilarang merusak mengambil atau memindahkan. Dilarang mengubah bentuk dan memisahkan keadaan atau kesatuan benda cagar budaya yang berada di dalam situs dan lingkungannya,” semoga dengan berbagai bukti sejarah ini bisa kembali mengingatkan kita akan khasanah budaya Aceh yang begitu besar dulunya sampai sekarang untuk anak cucu kita nantinya.

Sri Pramodawardhani Tokoh Wanita Istimewa Pembangun Candi Wenuwana

Dr.J.G. de Casparis, seorang ahli epigrafi (prasasti) Indonesia Kuno pernah mengatakan (Prasasti Indonesia I, 1950) bahwa tokoh Sri Pramodawardhani dari zaman Mataram Hindu, adalah identik dengan tokoh Sri Kahulunan. Nama Pramodawardhani (pramoda: kegembiraan, senang; wardhani: tumbuh, berkembang) terdapat dalam Prasasti Karangtengah (daerah Temanggung) yang berangka tahun 824 M dan nama Kahulunan (hulu: kepala; hulun: hamba) terdapat dalam Prasasti Tri i Tpusan yang berangka tahun 842 M. Kecuali itu di kompleks Candi Plaosan Lor juga terpahat empat buah nama Sri Kahulunan. Menurut pendapat de Casparis, Sri Pramodawardhani alias Sri Kahulunan berasal dari Wangsa Sailendra (Raja Gunung) yang beragama Budha, tetapi kemudian kawin dengan Rakai Pikatan (pikat: lekat, pikat) dari keturunan raja Sanjaya yang beragama Siwa. Perkawinan ini berlangsung sekitar tahun 832 M. Selanjutnya kedua orang tokoh tersebut bersama-sama mendirikan Candi Plaosan yang bercorak agama Budha.

     Salah satu sudut candi Ngawen


        Tetapi perkawinan antara putri Budha (Pramodawardhani) dan putra Hindu (Rakai Pikatan) itu ditentang oleh Balaputra, saudara laki-laki Pramodawardhani. Maka terjadilah peperangan yang dahsyat antara Rakai Pikatan dan Balaputra. Peperangan itu terjadi di dataran Prambanan sekitar pertengahan abad IX Masehi. Balaputra terdesak dan kemudian mendirikan keraton atau benteng pertahanan di Bukit Boko (Candi Kraton Boko) yang terletak di sebelah selatan Prambanan. Tetapi karena terus terdesak akhirnya meninggalkan Jawa Tengah dan tiba-tiba sejarah mencatat Balaputra menjadi raja di Sumatera Selatan atau Sriwijaya (Casparis: Prasasti Indonesia II, 1956: 293-295). Rekonstruksi sejarah berdasarkan data prasasti kuno dari J.G. de Casparis itu cukup terkenal dan menarik perhatian para pakar sejarah Indonesia Kuno. Tetapi pendapat de Casparis yang menyamakan Sri Pramodawardhani dengan Sri Kahulunan, kemudian dibantah oleh M. Boechari yang mengatakan bahwa Sri Kahulunan bukannya permaisuri Rakai Pikatan, melainkan ibunya (Majalah Arkeologi, 1982: 15-20). Pendapat ini berdasarkan keterangan di dalam naskah Udyogaparwa, di mana Yudhisthira menggunakan sebutan Sri Kahulunan bagi ibunya, yaitu Kunti. Dengan demikian sri kahulunan bukannya berarti 'Yang Mulia Sri Ratu' ('here majesteit de koningin') melainkan 'Yang Mulia Ibu Suri' ('here majesteit de koningin moeder'). Dengan munculnya pendapat baru itu, maka tokoh Sri Pramodawardhani dan Sri Kahulunan merupakan dua tokoh putri Mataram Hindu yang berlainan, meskipun keduanya tampil dalam kurun waktu yang hampir bersamaan. Artinya Sri Pramodawardhani tampil dalam panggung peristiwa sejarah sekitar tahun 824 m (Karangtengah atau Kayumwungan) dan Sri Kahulunan tampil dalam sejarah sekitar tahun 842 M (Tri i Tpusan). Tokoh wanita Sri Kahulunan ini berkaitan dengan pembebasan tanah Tri i Tpusan (Tri Tpusan) untuk kepentingan bangunan suci (kamulan) di Bhumi Sambhara (cf. Candi Borobudur).

        Prasasti Karangtengah (Kayumwungan) yang sekarang disimpan di Museum Jakarta (D.27 dan D.34) merupakan prasasti dwi-bahasa (bilingual inscription), yaitu menggunakan bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kuno. Angka tahun prasasti batu itu berbentuk chronogram (sengkalan) dan berbunyi rasa sagara ksitidhara dan melambangkan angka 647 atau apabila dibalik menjadi 746 Saka (824 M). Perkataan rasa (rasa) bernilai 6, sagara (laut) 4, dan ksitidhara (gunung) bernilai 7. Bagian yang menggunakan bahasa Sanskerta antara lain menyebut nama raja Dinasti Sailendra bernama Samaratungga dan putrinya bernama Sri Pramodawardhani. Bagian yang berbahasa Jawa Kuno selain menyebut tahun 746 Saka juga menyebut seorang tokoh bernama Rakarayan Patapan pu Palar yang diduga merupakan suami Sri Kahulunan (Majalah Arkeologi, 1982; 18).
        Selanjutnya prasasti kayumwungan (nama desa dalam prasasti) memuat puji-pujian istimewa yang ditujukan kepada Pramodawardhani. Hal ini menunjukkan bahwa putri Pramodawardhani merupakan seorang putri Raja Samaratungga yang luar biasa. Artinya calon suami Pramodawardhani berhak atas tahta Mataram. Dikatakan pada bait 10 yang menggunakan bahasa Sanskerta bahwa Sri Pramodawardhani merupakan seorang putri yang cantik jelita dengan berbagai macam keistimewaan lainnya. Bagian itu berbunyi sebagai berikut:
Sa kantin candramaso gatin ca hamsat svaran ca kalavimkat
se.... nam harati sri mat pramodawardhanikhyata //10//.
Berarti:
"Kecantikannya diperoleh dari bulan purnama, lenggangnya dari angsa, dan suaranya dari burung kalawingka. Ia yang mulia bernama Pramodawardhani //10//.
       Keistimewaan Sri Pramodawardhani dari abad IX tersebut tidak hanya karena rupa yang cantik molek, lenggang yang menggiurkan (bagaikan angsa) dan suara yang merdu (bagaikan burung kalawingka), melainkan juga karena jasa-jasanya membangun candi bersama-sama ayahnya, Samaratungga. Candi yang dibangunnya itu merupakan candi agama Budha (Jinamandira) yang disebut Wenuwana atau Srimad Wenuwana, berarti 'Yang Mulia Candi Hutan Bambu'. Dalam bahasa Sanskerta wenu berarti: bambu dan wana: hutan. Timbul pertanyaan, di manakah letak Candi Wenuwana tersebut? Dengan pertimbangan tertentu J.G. de Casparis menyamakannya dengan Candi Mendut sekarang yang erat kaitannya dengan Candi Pawon dan Candi Borobudur. Tetapi pendapat de Casparis itu sebetulnya masih meragukan. Setidak-tidaknya dipandang dari segi arca Budha yang terdapat di dalam bilik Candi Mendut dan juga dari segi etimologi (asal kata) Wenuwana. Seperti telah diketahui di dalam bilik Candi Mendut terdapat arca Buddha yang menggambarkan sewaktu Sang Buddha Gautama untuk pertama kalinya mengajarkan agama Budha di dalam taman rusa Mrgadawa di kota Benares. Maka itu di bawah kaki Sang Budha juga terdapat gambar dhammacakra (roda agama, dunia) yang diapit oleh dua ekor rusa (mrga). Demikian pula sikap tangan Sang Budha Gautama disebut dharmmacakraprawartanamudra, yaitu sikap tangan (mudra) sewaktu memutar (prawarta) dharmma atau ajaran suci di dunia (dharmmacakra). Tetapi harus diketahui bahwa Wenuwana di India bukannya terdapat di kota Benares, melainkan di kota Rajgir yang letaknya 300 km dari Benares. Peristiwa Wenuwana berkaitan dengan Raja Ajatasatru setelah bertobat dan tunduk kepada Sang Buddha dan selanjutnya menyerahkan sebuah hutan bambu (wenuwana) yang indah kepada Sang Buddha. Sampai sekarang, tepatnya di sebelah barat Muntilan dan relatif tidak jauh dari Candi Mendut, masih terdapat sebuah candi agama Buddha yang disebut Candi Ngawen oleh penduduk setempat. Candi Ngawen ini terkenal dengan arca singa yang menopang setiap sudut bagian kaki candi. Dipandang dari segi etimologi perkataan Ngawen berasal dari awi (bambu) yang kemudian mendapat imbuhan an (cf. Ciawi, kota Ngawi yang keduanya berkaitan dengan awi, bambu). Dengan demikian sudah jelas bahwa Candi Ngawen berarti Candi Bambu dan nama itu mengingatkan kita kepada Wenuwanamandira, Candi Hutan Bambu yang pernah dibangun oleh raja Samaratungga bersama-sama putrinya, Sri Pramodawardhani.
       Lepas dari masalah benar tidaknya perkiraan ini, yang jelas tokoh putri Pramodawardhani merupakan seorang tokoh wanita zaman Mataram Hindu yang sungguh luar biasa. Selain mempunyai wajah yang cantik jelita, Pramodawardhani juga seorang tokoh wanita yang taat beragama dan mempunyai peranan penting dalam pembangunan candi. Pendek kata, wanita dalam masyarakat Jawa Kuno juga mendapat tempat yang layak dan wajar. Contoh lainnya, kecuali Sri Pramodawardhani, masih banyak lagi ditemukan dalam sejarah Indonesia kuno, dan menarik untuk dibicarakan.

Oleh M.M. Sukarto K. Atmodjo, Kartini no. 387

Kisah Gong Nekara Asal China di Selayar


Nekara_selayar
Sebuah Gong nekara atau disebut the bronzen drum yang diyakini merupakan gong terbesar dan tertua di dunia, peninggalan China yang berada di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, sekitar 2.000 tahun silam, diyakini memiliki kekuatan gaib.
Toa (65), seorang penjaga gong, menceritakan bahwa kehadiran peninggalan kebudayaan zaman perunggu berawal dari seorang warga China yang sedang berlayar di sekitar perairan Kepulauan Selayar. Entah mengapa kapal yang berasal dari Dong Son itu lalu terdampar. "Tidak ada yang mengetahui secara pasti mengapa kapal China bisa terdampar," ujarnya.

Namun dari cerita nenek moyang, gong yang memiliki tiga fungsi pada masa Kerajaan Putabangun, yakni fungsi keagamaan, sosial budaya, dan politik, tersebut ditemukan pertama kali oleh salah seorang penggarap kebun bernama Pao pada tahun 1969.

Barang itu ditemukan di dalam tanah dengan kedalaman 2-3 meter di Papam Laheo, Lingkungan Bontosaile. "Ketika itu, Pao hendak menanam kelapa. Namun, setelah galiannya mencapai 2 meter, linggis yang digunakan Pao mengenai sebagian badan gong hingga berbunyi," ungkap Toa sembari membersihkan debu yang menempel di gong nekara itu.

Para ahli sejarah menafsirkan, gong nekara itu merupakan peninggalan zaman perunggu. Kesimpulan itu diambil setelah para sejarawan melakukan penelitian dan menemukan gong tersebut terbuat dari perunggu yang bentuknya menyerupai dandang terbalik, dengan luas lingkaran permukaan sebesar 396 cm persegi, luas lingkaran pinggang 340 cm persegi, dan tinggi 95 cm persegi.

Keunikan yang dimiliki gong yang dikenal sakral itu adalah adanya motif flora dan fauna terdiri dari gajah 16 ekor, burung 54 ekor, pohon sirih 11 buah, dan ikan 18 ekor. Sementara itu, di permukaan gong bagian atas terdapat 4 arca berbentuk kodok dengan panjang 20 cm dan di samping terdapat 4 daun telinga yang berfungsi sebagi pegangan.

Pada bidang pukul terdapat hiasan geometris, demikian pula pada bagian tengah gong terdapat garis pola bintang berbentuk 16. Nekara secara vertikal terdiri atas susunan kaki berbentuk bundar, seperti silinder, badan, dan bahu berbentuk cembung.

Keberadaan gong nekara yang memiliki nilai seni tinggi ini sempat mendorong oknum tak bertanggung jawab untuk mencuri salah satu arca kodok. Namun setelah sekian tahun dicari, akhirnya arca kodok tersebut berhasil ditemukan di Jakarta. Akibat kejadian itu,  pemerintah provinsi berinisiatif membuatkan rumah sebagai pelindung.


Sumber: kompas.com 

Sejarah Kerajaan Sriwijaya

Dalam bahasa Sansekertasri berarti “bercahaya” danwijaya berarti “kemenangan”. Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok I-tsing menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Prasasti paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7 yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang bertarikh 682.
Sriwijaya (Srivijaya) adl kerajaan maritim yg kuat di pulau Sumatera dan berpengaruh di Nusantara daerah kekuasaan Sriwijaya meliputi Kamboja Thailand Semenanjung Malaya Sumatera Jawa Kalimantan dan Sulawesi.
Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahan mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangandiantara serangan dari raja Dharmawangsa dari Jawa ditahun 990 dan tahun 1025 serangan Rajendra Coladewa dari Koromandel selanjut tahun 1183 Sriwijaya dibawah kendali kerajaan Dharmasraya. Dan di akhir masa kerajaan ini takluk di bawah kerajaan Majapahit.
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20 kedua kerajaan tersebut menjadi referensi olehkaum nasionalis utk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda.
Sriwijaya disebut dgn berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebut Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts’i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebut Zabaj dan Khmer menyebut Malayu.Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang ada 3 pulau Sabadeibei yg berkaitan dgn Sriwijaya.
Eksistensi Sriwijaya diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Cœdès dari École française d’Extrême-Orient. Sekitar tahun 1992 hingga 1993 Pierre-Yves Manguin membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatra Selatan Indonesia). Namun Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak di provinsi Jambi sekarang yaitu pada kawasan sehiliran Batang Hari antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi.

Pembentukan dan Pertumbuhan Kerajaaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim. Negara ini tak memperluas kekuasaan diluar wilayah kepulauan Asia Tenggara dgn pengecualian berkontribusi utk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sekitar tahun 500 akar Sriwijaya mulai berkembang di wilayah sekitar Palembang Sumatera. Kerajaan ini terdiri atas tiga zona utama daerah ibukota muara yg berpusatkan Palembang lembah Sungai Musi yg berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara saingan yg mampu menjadi pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai komoditas yg berharga utk pedagang Tiongkok Ibukota diperintah secara langsung oleh penguasa sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh datu setempat.
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7 pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasi atas Kamboja sampai raja Khmer Jayawarman II pendiri imperium Khmer memutuskan hubungan dgn kerajaan di abad yg sama.
DariPrasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Jayanasa Kerajaan Minanga takluk di bawah imperium Sriwijaya. Penguasaan atas Malayu yg kaya emas telah meningkatkan prestise kerajaan.
BerdasarkanPrasasti Kota Kapur yg yg berangka tahun 682 dan ditemukan di pulau Bangka Pada akhir abad ke-7 kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera pulau Bangka dan Belitung hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer utk menghukum Bhumi Jawa yg tak berbakti kepada Sriwijaya peristiwa ini bersamaan dgn runtuh Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yg kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka Selat Sunda Laut China Selatan Laut Jawa dan Selat Karimata.
Abad ke-7 orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera yaitu Malayu dan Kedah dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan pada masa ini pula wangsa Melayu-Budha Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikut Pan Pan dan Trambralinga yg terletak di sebelah utara Langkasuka juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Di abad ke-9 wilayah kemaharajaan Sriwijaya meliputi Sumatera Sri Lanka Semenanjung Malaya Jawa Barat Sulawesi Maluku Kalimantan dan Filipina. Dengan penguasaan tersebut kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yg hebat hingga abad ke-13.
Setelah Dharmasetu Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yg ekspansionis Samaratungga tak melakukan ekspansi militer tetapi lbh memilih utk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinan ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yg selesai pada tahun 825.

Budha Vajrayana di Kerajaan Sriwijaya

Sebagaipusat pengajaran Budha Vajrayana Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I-tsing yg melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studi di Universitas Nalanda India pada tahun 671 dan 695 serta di abad ke-11 Atisha seorang sarjana Budha asal Benggala yg berperan dalam mengembangkan Budha Vajrayana di Tibet. I-tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan sarjana Budha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pengunjung yg datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya.

Relasi Kerajaan Sriwijaya dgn Kekuatan Regional

Dari catatan sejarah danbukti arkeologi dinyatakan bahwa pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara antara lain Sumatera Jawa Semenanjung Malaya Kamboja dan Vietnam Selatan . Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yg mengenakan biaya atas tiap kapal yg lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaan sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yg melayani pasar Tiongkok dan India.
Pada masa awalKerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya di propinsi Surat Thani Thailand Selatan sebagai ibu kota terakhir kerajaan tersebut pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yg bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya Thatong (Kanchanadit) dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dgn kerajaan Pala di Benggala dan sebuah prasasti berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputra mendedikasikan seorang biara kepada Universitas Nalada Pala. Relasi dgn dinasti Chola di India selatan cukup baik dan kemudian menjadi buruk setelah Rajendra Coladewa naik tahta dan melakukan penyerangan di abad ke-11.
Minanga merupakan kekuatan pertama yg menjadi pesaing Sriwijaya yg akhir dapat ditaklukkan pada abad ke-7. Kerajaan Melayu ini memiliki pertambangan emas sebagai sumber ekonomi dan kata Swarnnadwipa (pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini. Dan kemudian Kedah juga takluk dan menjadi daerah bawahan.

Masa Kejayaan Kerajaan Sriwijaya

Pada paruh pertama abad ke-10 diantara kejatuhan dinasti Tang dan naik dinasti Song perdagangan dgn luar negeri cukup marak terutama Fujian kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada tahun 903 penulis Muslim Ibnu Batutah sangat terkesan dgn kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khusus Bukit Seguntang) Muara Jambi dan Kedah. Di tahun 902 Sriwijaya mengirimkan upeti ke China. Dua tahun kemudian raja terakhir dinasti Tang menganugerahkan gelar kepada utusan Sriwijaya. Dari literatur Tiongkok utusan itu mempunyai nama Arab hal ini memberikan informasi bahwa pada masa-masa itu Sriwijaya sudah berhubungan dgn Arab yg memungkinkan Sriwijaya sudah masuk pengaruh Islam di dalam kerajaan.

Keruntuhan Kerajaan Sriwijaya

Rajendra Coladewa pada tahun 1025 raja Chola dari Koromandel India selatan menaklukkan Kedah dan merampas dari Sriwijaya. Kemudian Kerajaan Chola meneruskan penyerangan dan berhasil penaklukan Sriwijaya selama beberapa dekade berikut keseluruh imperium Sriwijaya berada dalam pengaruh Rajendra Coladewa. Meskipun demikian Rajendra Coladewa tetap memberikan peluang kepada raja-raja yg ditaklukan utk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Setelah invasi tersebut akhir mengakibatkan melemah hegemoni Sriwijaya dan kemudian beberapa daerah bawahan membentuk kerajaan sendiri dan kemudian muncul Kerajaan Dharmasraya sebagai kekuatan baru dan kemudian mencaplok kawasan semenanjung malaya dan sumatera termasuk Sriwijaya itu sendiri.
Istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1225 tak lagi identik dgn Sriwijaya melainkan telah identik dgn Dharmasraya dimana pusat pemerintahan dari San-fo-tsi telah berpindah jadi dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan kerajaan Dharmasraya yg sebelum merupakan daerah bawahan dari Sriwijaya dan berbalik menguasai Sriwijaya beserta daerah jajahan lainnya.
Antara tahun 1079 - 1088 kronik Tionghoa masih mencatat bahwaSan-fo-ts’i masih mengirimkan utusan dari Jambi dan Palembang. Dalam berita Cina yg berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 mengirim utusan dimana pada masa itu Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi yg merupakan surat dari putri raja yg diserahi urusan negara San-fo-tsi serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan rumbia dan 13 potong pakaian. Dan kemudian dilanjutkan dgn pengiriman utusan selanjut di tahun 1088.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yg ditulis pada tahun 1178 Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yg sangat kuat dan kaya yakni San-fo-ts’i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyat memeluk agama Budha dan Hindu sedangkan rakyat San-fo-ts’i memeluk Budha dan memiliki 15 daerah bawahan yg meliputi; Pong-fong (Pahang) Tong-ya-nong (Terengganu) Ling-ya-si-kia (Langkasuka) Kilantan (Kelantan) Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang) Ji-lo-t’ing (Cherating pantai timur semenanjung malaya) Ts’ien-mai (Semawe pantai timur semenanjung malaya) Pa-t’a (Sungai Paka pantai timur semenanjung malaya) Tan-ma-ling (Tambralingga Ligor selatan Thailand) Kia-lo-hi (Grahi Chaiya sekarang selatan Thailand) Pa-lin-fong (Palembang) Kien-pi (Jambi) Sin-t’o (Sunda) Lan-wu-li (Lamuri di Aceh) and Si-lan (Kamboja).
DalamKidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan juga disebut ‘Arya Damar’ sebagai bupati Palembang yg berjasa membantu Gajah Mada dalam menaklukkan Bali pada tahun 1343 Prof. C.C. Berg menganggap identik dgn Adityawarman. Dan kemudian pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura sesuai dgn manuskrip yg terdapat pada bagian belakang Arca Amoghapasa. Kemudian dari Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah yg kemungkinan ditulis sebelum pada tahun 1377 juga terdapat kata-kata bumi palimbang.
Pada tahun 1275 Singhasari penerus kerajaan Kediri di Jawa melakukan suatu ekspedisi dalam Pararaton disebut semacam ekspansi dan menaklukan bhumi malayu yg dikenal dgn nama Ekspedisi Pamalayu yg kemudian Kertanagara raja Singhasari menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa raja Melayu di Dharmasraya seperti yg tersebut dalam Prasasti Padang Roco. Dan selanjut pada tahun 1293 muncul Majapahit sebagai pengganti Singhasari dan setelah Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi naik tahta memberikan tanggung jawab kepada Adityawarman seorang peranakan Melayu dan Jawa utk kembali menaklukkan Swarnnabhumi pada tahun 1339. Dan dimasa itu nama Sriwijaya sudah tak ada disebut lagi tapi telah diganti dgn nama Palembang hal ini sesuai dgn Nagarakretagama yg menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit.

Perdagangan Kerjaaan Sriwijaya

Dalam perdagangan Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok yakni dgn penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditi seperti kamper kayu gaharu cengkeh pala kepulaga gading emas dan timah yg membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yg melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal di seluruh Asia Tenggara.

Pengaruh Budaya dan Agama Islam

Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India pertama oleh budaya Hindu dan kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Agama Buddha diperkenalkan di Sriwijaya pada tahun 425 Masehi. Sriwijaya merupakan pusat terpenting agama Buddha Mahayana. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9. Sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu dan kebudayaan Melayu di Nusantara.
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yg termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara sekaligus sebagai pusat pembelajaran agama Budha juga ramai dikunjungi pendatang dari Timur Tengah dan mulai dipengaruhi oleh pedagang dan ulama muslim. Sehingga beberapa kerajaan yg semula merupakan bagian dari Sriwijaya kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak disaat melemah pengaruh Sriwijaya.
Pengaruh orang muslim Arab yg banyak berkunjung di Sriwijaya raja Sriwijaya yg bernama Sri Indrawarman masuk Islam pada tahun 718. Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya adl masyarakat sosial yg di dalam terdapat masyarakat Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Suriah. Bahkan disalah satu naskah surat adl ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M) dgn permintaan agar khalifah sudi mengirimkan da’i ke istana Sriwijaya.

Warisan Sejarah Kemaharajaan Sriwijaya

Berdasarkan Hikayat Melayu pendiri Kesultanan Malaka mengaku sebagai pangeran Palembang keturunan keluarga bangsawan Palembang dari trah Sriwijaya. Hal ini menunjukkan bahwa pada abad ke-15 keagungan gengsi dan prestise Sriwijaya tetap dihormati dan dijadikan sebagai sumber legitimasi politik bagi penguasa di kawasan ini.
Nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota dan nama ini telah melekat dgn kota Palembang dan Sumatera Selatan.Universitas Sriwijaya yg didirikan tahun 1960 di Palembang dinamakan berdasarkan kedatuan Sriwijaya. Demikian pulaKodam Sriwijaya (unit komando militer) PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan)Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang) Sriwijaya TV Sriwijaya Air (maskapai penerbangan) Stadion Gelora Sriwijaya dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang) semua dinamakan demikian utk menghormati memuliakan dan merayakan kegemilangan kemaharajaan Sriwijaya.
Di samping Majapahit kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah khusus bagi penduduk kota Palembang provinsi Sumatera Selatan dan segenap bangsa Melayu. Bagi penduduk Palembang keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yg sama juga berlaku bagi masyarakat Thailand Selatan yg menciptakan kembali tarian Sevichai (Sriwijaya) yg berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.

Wednesday, July 6, 2011

Menerawangi Indonesia Tua di Gunung Padang

Cianjur, - Pertanyaan mengenai apakah orang-orang Nusantara, Sunda khususnya, merupakan bangsa tua di dunia, kerap terbersit dari pikiran banyak orang begitu mengunjungi situs megalitik Gunung Padang di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Cianjur, Jawa Barat.

"Nenek kakek kami bercerita bahwa pada malam-malam tertentu di atas bukit sana, sering terdengar suara-suara musikal dan tempat itu menjadi terang benderang. Kami lalu menamai bukit ini dengan Gunung Padang (gunung terang)," kata Yuda Buntar, salah seorang pengelola situs purbakala itu, awal pekan ini.

Nenek moyang Yuda dan orang-orang sekitar Gunung Padang tak menyebutnya sebagai situs purbakala. Yang mereka tahu tempat itu keramat, sampai kemudian pada 1979 tiga warga kampung itu melaporkan situs tepat di puncak bukit tersebut, ke otoritas purbakala di Cianjur.

Segera daerah itu ditetapkan sebagai cagar budaya untuk bukti keluhuran kebudayaan lokal dan ketinggian peradaban asli Indonesia, khususnya orang-orang yang sekarang mendiami Tatar Pasundan.

Para arkeolog percaya bahwa Situs Megalitik Gunung Padang adalah situs megalitik terbesar di Asia Tenggara.

Situs itu diperkirakan dibangun kira-kira 2.000 tahun sebelum Masehi atau sekitar 2.400 tahun sebelum kerajaan Nusantara pertama berdiri di Kutai, Kalimantan, atau kira-kira 2.800 tahun sebelum Candi Borobudur dibangun.

gunung-padang-foto-hendijoMelihat susunan batu dan pemilihan panorama lingkungan sekitar situs, siapa pun akan takjub pada betapa tingginya kebudayaan Nusantara purba.

Sumber material bangunan dan kualitasnya yang terpilih, serta orientasinya pada simbol-simbol keilahian khas era purbakala, seperti gunung dan samudera, membuat pengunjung menerawang bahwa betapa agung dan berperspektifnya peradaban purba Nusantara.

Tegak lurus dari situs, berdiri Gunung Gede yang sejak Kerajaan Pajajaran sudah dianggap sakral, atau jangan-jangan masyarakat Pajajaran hanya mewarisi tradisi kuno puak megalitik.

Jika dicermati lebih dalam, situs berisi serakan batu hitam bermotif itu, ternyata memuatkan keteraturan geometris, selain pesan kebijaksanaan kosmis yang tinggi, sebelum agama-agama modern masuk ke Nusantara.

Geometri ujung batu dan pahatan ribuan batu besar dibuat sedemikian teratur rata-rata berbentuk pentagonal. Simbol "lima" ini mirip dengan tangga nada musik sunda pentatonis, da mi na ti na.

Keajaiban-keajaiban itu membuat orang takjub, khususnya para pengunjung situs. Banyak yang menyebut situs ini satu teater musikal purba, sekaligus kompleks peribadatan purba.

"Obelix harus ke sini," kata seorang pengunjung dari Universitas Padjadjaran, Bandung, seperti tertulis dalam buku tamu kesan dan pesan setelah mengunjungi situs megalitik Gunung Padang.

Obelix adalah salah satu tokoh dari duet Asterix-Obelix dalam komik "Petualangan Asterix" karya Rene Goscinny dari Prancis, yang mengisahkan para ksatria Galia, Prancis awal, di era Romawi kuno.

Poligonal

Untuk mencapai situs, seseorang harus menapaki dulu 468 anak tangga batu endesit yang direkonstruksi, begitu bukit itu ditetapkan sebagai cagar budaya. Tangga batunya pun dibuat dengan hitungan matematis, dengan bilangan lima terlihat dominan.

Kalau Babylonia menganggap sakral angka 11 atau Romawi Kuno dengan angka 7, maka di Gunung Padang, bangsa kuno Nusantara yang mendiami tanah Pasundan ini "memuja" bilangan lima.

Di pelataran undak pertama, pemandangan menakjubkan terhampar dari seluruh konstruksi situs yang disusun dari kolom-kolom batu berdimensi kebanyakan segi lima, dengan permukaannya yang halus.

gunung_padang1Batu-batu itu dipasang melintang sebagai tangga dari kaki bukit sampai pintu masuk situs. Di puncak bukit, pada pelataran pertama, pintu gerbangnya diapit kolom batu berdiri.

Sejumlah pakar menilai batu-batu itu tidak dibuat manusia, melainkan hasil proses geologis ketika aliran magma membeku, seperti terbentuknya retakan-retakan poligonal ketika lumpur mengering.

Proses serupa membentuk situs tanggasegi enam raksasa di Giant Causeway, Irlandia atau Borger-Odoorn di Belanda. Semuanya terjadi saat proses pendinginan lava menjadi batuan beku yang umumnya berjenis batu andesit.

Gunung Padang sendiri diperkirakan terbentuk dari hasil pembekuan magma, sisa gunung api purba era Pleistosen Awal, 21 juta tahun lalu.

Para pakar menilai, gunung itu adalah sumber alamiah kolom batu penyusun konstruksi situs, terbukti dari berserakannya kolom-kolom batu alamiah yang bukan dari reruntuhan situs yang banyak ditemukan di kaki Gunung Padang.

"Memang, batu-batu sejenis bisa dengan mudah digali dari kaki Gunung Padang ini," kata Yuda, seraya menunjuk tumpukan batu andesit berbalut tanah merah di seberang jalan dan dekat dapur rumahnya.

Namun, masyarakat setempat percaya, seperti dituturkan Ahmad Zaenuddin, salah seorang pengelola situs sekaligus pelaku konstruksi situs megalitik Gunung Padang, batu-batu andesit di lokasi situs terlebih dahulu diukir di satu tempat yang kini disebut Kampung Ukir.

Kemudian, dicuci di satu empang yang tempatnya sekarang disebut Kampung Empang yang hingga kini terhampar serakan sisa-sisa ukiran batu purba. Kedua kampung berada sekitar 500 meter arah tenggara Situs Megalitik Gunung Padang.

Batu-batu andesit sendiri hanya ditemui di sekitar Gunung Padang. "Begitu menyeberangi Kali Cikuta dan Kali Cipanggulaan, tak ada lagi batu-batu besi seperti itu," kata Zaenudin.

Kaki Cikuta dan Kali Cipanggulaan adalah dua sungai kecil yang mengapit situs Gunung Padang yang telah dicatat arkeolog Belanda, N.J. Krom, pada 1914.

Gunung Padang sendiri bukan satu-satunya kompleks tradisi megalitik. Masih ada peninggalan tradisi megalitik sekitar Cianjur di Ciranjang, Pacet, Cikalong Wetan dan Cibeber.

Yang pasti, situs megalitik Gunung Padang yang dapat ditempuh dalam waktu 45 menit dari kota Cianjur itu adalah yang paling menakjubkan dan paling agung.

Sayang, satu kilometer menuju lokasi, kondisi jalan menuju situs amat buruk, di samping penunjuk arah situs yang tak jelas. Lain dari itu, Situs Megalitik Gunung Padang tampaknya harus lebih dirawat dan dilindungi lagi.


Sumber: antaranews.com
dikutip dari : http://arkeologi.web.id/

Sejarah Singkat Lumajang

Lumajang, - Lumajang adalah daerah di Provinsi Jawa Timur yang berada di kaki Gunung Tertinggi di Pulau Jawa "Semeru". Siapa sangka, Lumajang adalah kota tua yang memiliki peradaban budaya, pertanian, pemerintah, dan perekonomian yang maju di masa lalu.
Sayang, peninggalan kerajaan tua di Pulau Jawa bagian timur ini seakan tidak berbekas, lenyap ditelan zaman. Bahkan kepedulian masyarakat dan Pemerintah setempat terhadap peninggalan kota yang dulu dikenal pusat pemerintah besar di bawah Kerajaan Kediri dan Singosari ditelan zaman.

Dikutip dari berbagai sumber, nama Lumajang berasal dari "Lamajang" yang diketahui dari penelusuran sejarah, data prasasti, naskah-naskah kuno, bukti-bukti petilasan, dan hasil kajian pada beberapa seminar dalam rangka menetapkan hari jadinya.

Beberapa bukti peninggalan yang ada antara lain, Prasasti Mula Malurung, Naskah Negara Kertagama, Kitab Pararaton, Kidung Harsa Wijaya, Kitab Pujangga Manik, Serat Babad Tanah Jawi, dan Serat Kanda.

Karena Prasasti Mula Manurung dinyatakan sebagai prasasti tertua dan pernah menyebut-nyebut "Negara Lamajang" maka dianggap sebagai titik tolak pertimbangan hari jadi Lumajang.

Prasasti Mula Manurung ini ditemukan pada 1975 di Kediri. Prasasti ini ditemukan berangka 1177 Tahun Saka, mempunyai 12 lempengan tembaga. Pada lempengan VII halaman a baris 1 - 3 prasasti Mula Manurung menyebutkan "Sira Nararyya Sminingrat, pinralista juru Lamajang pinasangaken jagat palaku, ngkaneng nagara Lamajang."

Arti dari tulisan prasasti itu adalah : Beliau Nararyya Sminingrat (Wisnuwardhana) ditetapkan menjadi juru di Lamajang diangkat menjadi pelindung dunia di Negara Lamajang tahun 1177 Saka.

Berdasarkan penghirungan kalendar kuno, prasasti tersebut ditemukan dalam tahun Jawa pada tanggal 14 Dulkaidah 1165 atau tanggal 15 Desember 1255 M.

Mengingat keberadaan Negara Lamajang sudah cukup meyakinkan, yakni pada 1255M itu Lamajang sudah merupakan sebuah negara berpenduduk, mempunyai wilayah, mempunyai raja (pemimpin) dan pemerintahan yang teratur, maka ditetapkanlah tanggal 15 Desember 1255 M sebagai hari jadi Lumajang yang dituangkan dalam Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lumajang Nomor 414 Tahun 1990 tanggal 20 Oktober 1990.

Sejak tahun 1928 Lumajang telah dipimpin oleh sejumlah bupati. Bupati-bupati yang pernah dan sedang memimpin Lumajang antara lain, KRY Kertodirejo (1928-1941), R Abu Bakar (1941-1948), R Sastrodikoro (1948-1959), R Sukardjono (1959-1966), RN G Subowo (1966-1973), Suwandi (1973-1983), Karsid (1983-1988), HM Samsi Ridwan (1988-1993), Tarmin Hariyadi (1993-1998), Drs Achmad Fauzi (1998 - 2008), Dr H Sjahrazad Masdar, MA (2008-2013).

Kerajaan besar di wilayah timur Pulau Jawa, kini hanya tinggal kenang dan cerita. Bahkan sejumlah peninggalan Kerajaan Lumajang Kuno di masa kejayaan tidak bisa diketahui, karena kepedulian Pemerintah daerah sangat rendah meski sudah berganti 11 bupati (pemimpin daerah).

Bahkan untuk mendapatkan informasi sejarah Lumajang yang terkenal dengan sebutan Kota Pisang sangat sulit. Akibatnya masyarakat Lumajang sendiri tidak mengetahui pasti Kota Lumajang Kuno ada dimana dan bagaimana dulunya terbentuk.

Jadi jangan heran bila pelajar di Lumajang tidak mengetahui sejarah kotanya yang dulu terkenal dengan Kerajaan besar di masanya. Karena sejumlah peninggalan Kerajaan Lamajang tidak dirawat dan tereferensi akurat.

Bahkan situs peninggalan Kotaraja Lumajang yang berada di Dusun Biting Desa Kutorenon Kecamatan Sukodono tidak terawat dan tidak dikelola dengan baik oleh Pemerintah Setempat. Padahal di`tempat itu ada makam yang diduga Arya Wiraja Raja, mantan Adipati Sumenep yang merupakan pemimpin Kerajaan Lamajang untuk wilayah Majapahit wilayah Timur.

Dari tahun ke tahun, pemimpin di Lumajang tidak pernah memikirkan untuk membuat museum cagar budaya untuk peninggalan Kerajaan Lamajang Kuno. Kabar terbaru, Situs Kotaraja Kuno kini mulai terpinggirkan dengan adanya pengembangan perumahan Biting.

Bahkan akibat perluasan perumahan oleh pengembang, sejumlah situs bangunan peninggalan mulai hilang dan tak berjejak. Perluasan perumahan yang mengancam situs asal usul Kota Lumajang, pemerintah daerah diam dan membiarkan tanpa berbuat apa-apa.

Beruntung kumpulan orang yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Peninggalan Mojopahit (MPP) Lumajang, mencegah Buldoser yang hendak merusak gundukan tanah yang didalam ada tumpukan batu bata yang merupakan bangunan kerajaan Kuno Lamajang. Berkat adanya MPPM, pengembang perumahan tidak berani lagi melakukan perluasan yang mengarah ke situs peninggalan sejarah Lamajang.

Kini pemerintahan Lumajang mulai lupa asal usulnya, sehingga peninggalan leluhurnya dibiarkan terbengkalai tak terawat. Bahkan Pemkab Lumajang tidak menganggarkan soal perawatan situs peninggalan sejarah Lumajang baik di tahun 2010 lalu dan 2011 sekarang. Lalu siapa lagi yang harus bertanggung jawab dengan peninggalan Kerajaan Lamajang Kuno? Apakah dibiarkan musnah berkalang tanah dan tidak lagi dikenal sebagai warisan budaya bangsa?


Sumber: beritajatim.com
             http://arkeologi.web.id/
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...