PROUD TO BE INDONESIAN, MAY ALLAH SWT ALWAYS SAVE AND BLESS INDONESIA....

Thursday, July 7, 2011

Perkembangan Arkeologi di Indonesia

Di Indonesia, perkembangan arkeologi dimulai dari lembaga-lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan, seperti Bataviaashe Genootshcap van Kunsten en Wettenschappen yang kemudian di Jakarta mendirikan museum tertua, sekarang menjadi Museum Nasional. Lembaga pemerintah pada masa kolonial yang bergerak di bidang arkeologi adalah Oudheidkundige Dienst yang banyak membuat survei dan pemugaran atas bangunan-bangunan purbakala terutama candi. Pada masa kemerdekaan, lembaga tersebut menjadi Dinas Purbakala hingga berkembang sekarang menjadi berbagai lembaga seperti Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala dan Balai Arkeologi yang tersebar di daerah-daerah dan Direktorat Purbakala serta Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional di Jakarta. Di samping itu, terdapat beberapa perguruan tinggi yang membuka jurusan arkeologi untuk mendidik tenaga sarjana di bidang arkeologi. Perguruan-perguruan tinggi tersebut adalah Universitas Indonesia (Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya), Universitas Gadjah Mada (Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya), Universitas Hasanuddin (Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra), dan Universitas Udayana (Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra).

Oudheidkundige Dienst atau Jawatan Purbakala adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda untuk mengelola bidang kepurbakalaan. Tugas dari lembaga tersebut antara lain adalah menyusun, membuat daftar, serta mengawasi peninggalan purbakala di seluruh wilayah Indonesia. Lembaga ini juga bertugas merencanakan dan melakukan pemugaran, melakukan pengukuran dan penggambaran, serta melakukan penelitian. Oudheidkundige Dienst dibentuk pada tanggal 14 Juni 1913.

Setelah Indonesia merdeka, lembaga ini berubah menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional.

Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) adalah unit pelaksana teknis (UPT) dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia yang berada di daerah. Balai ini berada di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. Sebelumnya, lembaga ini bernama Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP).

Sesuai dengan keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. KM. 51/OT.001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003 tentang Organisasi dan Tatakerja Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, fungsi dari lembaga ini adalah sebagai berikut.
  1. Melaksanakan pemeliharaan, pengelolaan, dan pemanfaatan peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs peninggalan arkeologi bawah air.
  2. Melaksanakan perlindungan peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs termasuk yang berada di lapangan maupun yang tersimpan di ruangan.
  3. Melaksanakan pemugaran peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs termasuk yang berada di lapangan maupun yang tersimpan di ruangan.
  4. Melaksanakan dokumentasi peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs termasuk yang berada di lapangan maupun yang tersimpan di ruangan.
  5. Melaksanakan penyidikan dan pengamanan terhadap peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs termasuk yang berada di lapangan maupun di ruangan.
  6. Melaksanakan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat tentang peninggalan sejarah dan purbakala.
  7. melaksanakan penetapan benda cagar budaya (BCB) bergerak di wilayah kerja Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.
  8. Melaksanakan usuran tata usaha dan rumah tangga Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.

Ahli arkeologi Indonesia, yang umumnya merupakan lulusan dari keempat perguruan tinggi tersebut, berhimpun dalam Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Tokoh-tokoh arkeologi Indonesia yang terkenal antara lain adalah R. Soekmono yang mengepalai pemugaran Candi Borobudur, dan R.P. Soejono, yang merupakan pendiri dan ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia pertama dan mantan kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Disiplin Arkeologi Indonesia masih secara kuat diwarnai dengan pembagian kronologis, yaitu periode Prasejarah, periode Klasik (zaman Hindu-Buddha), periode Islam, serta periode Kolonial. Oleh karena itu, dalam arkeologi Indonesia dikenal spesialisasi menurut periode, yaitu Arkeologi Prasejarah, Arkeologi Klasik, Arkeologi Islam, serta Arkeologi Kolonial. Satu keistimewaan dari arkeologi Indonesia adalah masuknya disiplin Epigrafi, yang menekuni pembacaan prasasti kuna. Pada perkembangan sekarang telah berkembang minat-minat khusus seperti etnoarkeologi, arkeologi bawah air, dan arkeometri. Terdapat pula sub-disiplin yang berkembang karena persinggungan dengan ilmu lain, seperti Arkeologi Lingkungan atau Arkeologi Ekologi, Arkeologi Ekonomi, Arkeologi Seni, Arkeologi Demografi, dan Arkeologi Arsitektur.

Arkeologi Prasejarah adalah sub-bidang arkeologi yang mempelajari kebudayaan manusia pada zaman prasejarah. Zaman prasejarah sendiri bermula sejak keberadaan manusia di muka bumi dan berakhir ketika dikenal adanya tulisan. Masa berakhirnya masa prasejarah berbeda-beda bagi setiap suku bangsa karena perbedaan waktu dalam mengenal tulisan.

Peninggalan arkeologi prasejarah dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu peninggalan bergerak dan peninggalan tidak-bergerak. Peninggalan bergerak antara lain adalah alat-alat batu, perhiasan batu, peralatan dan perhiasan dari tulang dan kulit kerang, serta gerabah. Sementara itu, peninggalan tak-bergerak antara lain adalah bangunan megalitik dan gua hunian. Tidak banyak peninggalan yang terbuat dari bahan organik karena besar kemungkinan telah musnah seiring dengan perjalanan waktu.

Tokoh arkeologi prasejarah di Indonesia antara lain adalah Prof. Dr. R.P. Soejono, Prof. Dr. Sumijati Atmosudiro, Dr. Daud Aris Tanudirjo, Dr. Harry Widianto, dan Dr. Mahirta. Sementara itu, kajian prasejarah di Indonesia dirintis oleh para ahli dari Belanda, seperti Dr. P.V. van Stein Callenfels yang dianggap sebagai Bapak Prasejarah Indonesia.

Arkeologi Klasik merupakan salah satu bidang kajian dalam ilmu arkeologi di Indonesia yang dimulai sejak dikenalnya tulisan sampai masuknya pengaruh kebudayaan Barat di Indonesia. Bidang kajian ini dimulai sejak abad 4 Masehi dengan mengacu pada prasasti Yupa yang ditemuka di Kalimantan Timur sampai runtuhnya Kerajaan Majapahit pada abad ke-16. Pada rentang waktu itu di nusantara sedang berkembang kebudayaan yang dipengaruhi oleh kebudayaan India yang bernafaskan agama Hindu dan Buddha. Pada masa ini selain kedua agama tersebut juga ditemukan agama "baru" yang merupakan sinkretisme Hindu dan Buddha. Bukti adanya sinkretisme agama pada masa pengaruh kebudayaan Hindu-Budha ini ditandai dengan ditemukannya bangunan candi dan arca-arca yang mencerminkan perpaduan antara kedua agama, misalnya candi Jago dan candi Jawi di Malang, Jawa Timur. Adapun yang dikaji dalam arkeologi klasik antara lain candi, bekas-bekas kraton, petirtaan, arca, prasasti, keramik, mata uang, dan artefak-artefak lainnya yang berasal dari kurun waktu antara abad ke-4-15 Masehi.

Epigrafiadalah suatu cabang arkeologi yang berusaha meneliti benda-benda bertulis yang berasal dari masa lampau. Salah satu contohnya adalah prasasti. Prasasti merupakan sumber bukti tertulis (berupa tulisan ataupun gambar) pada masa lampau yang dapat memberikan informasi mengenai peristiwa dimasa lampau, asal-usul seorang raja atau tokoh atau genealogi maupun penanggalan.

Tujuan arkeologi adalah merekonstruksi sejarah masa lampau berdasarkan apa yang dapat ditemukan kembali dengan ketrampilan dan penguasaan metode ekskavasi pada benda-benda masa lampau. Jika benda tinggalan tersebut berupa prasasti maka ahli epigrafi akan mengelolanya agar dapat diketahui kapan terjadinya, siapa tokoh pemerintahannya serta apa isi yang terkandung pada prasasti tersebut.Ahli epigrafi mempunyai kemampuan menganalisis prasasti dengan kemampuannya untuk membaca tulisan kuno, baik berupa huruf kuno maupun bahasa kuno.

Tugas seorang ahli epigrafi sekarang ini tidak saja meneliti prasasti-prasasti yang belum di publikasikan melainkan juga meneliti kembali prasasti yang baru terbit dalam transkripsi sementara. Kemudian ahli epigrafi tersebut harus menterjemahkan prasasti itu ke dalam bahasa yang digunakan saat ini sehingga para peneliti lain, khususnya ahli-ahli sejarah dapat menggunakan berbagai macam keterangan yang terkandung di dalam prasasti-prasasti itu.

Dalam menjalankan tugas-tugasnya, ahli epigrafi banyak menjumpai berbagai macam hambatan. Menurut arkeolog Indonesia yang menekuni bidang epigrafi yaitu Drs.Hasan Djafar, masalah yang pertama adalah karena banyak prasasti terutama prasasti batu, yang sudah demikian usang sehingga sulit untuk membacanya. Ia harus membaca bagian-bagian yang usang tersebut berkali-kali sampai mendapatkan pembacaan yang memuaskan. Dengan menguasai bentuk huruf kuno dengan segala lekuk likunya, dan dengan senantiasa membanding-bandingkan huruf-hurufnya yang usang itu dengan huruf-huruf yang masih jelas, seorang ahli epigrafi berusaha untuk memperoleh pembacaan yang selengkap-lengkapnya. Kedua, dihadapkan pada waktu menterjemahkan prasasti-prasasti itu. Pengetahuan mengenai bahasa-bahasa kuno yang digunakan dalam prasasti masih belum cukup untuk memahami sepenuhnya makna yang terkandung di dalam naskah-naskah itu.

Ahli epigrafi bak detektif yang mencari tahu mengenai kehidupan maupun peristiwa masa lampau melalui kode-kode rahasia berupa huruf maupun gambar melalui kemampuannya dalam menganalisis. Sehingga masyarakat, khususnya ahli sejarah dan arkeologi, mendapatkan informasi sejarah yang jelas dan valid. Seorang ahli epigrafi dibutuhkan dalam memecahkan sebuah catatan sejarah yang ditulis oleh masyarakat masa lampau agar dapat dimengerti oleh masyarakat saat ini.

Source: http://www.indonesiaindonesia.com/f/91275-ilmu-arkeologi/
 Dikutip dari : http://www.adipedia.com/

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...