Dr.J.G. de Casparis, seorang ahli epigrafi (prasasti) Indonesia Kuno pernah mengatakan (Prasasti Indonesia I, 1950) bahwa tokoh Sri Pramodawardhani dari zaman Mataram Hindu, adalah identik dengan tokoh Sri Kahulunan. Nama Pramodawardhani (pramoda: kegembiraan, senang; wardhani: tumbuh, berkembang) terdapat dalam Prasasti Karangtengah (daerah Temanggung) yang berangka tahun 824 M dan nama Kahulunan (hulu: kepala; hulun: hamba) terdapat dalam Prasasti Tri i Tpusan yang berangka tahun 842 M. Kecuali itu di kompleks Candi Plaosan Lor juga terpahat empat buah nama Sri Kahulunan. Menurut pendapat de Casparis, Sri Pramodawardhani alias Sri Kahulunan berasal dari Wangsa Sailendra (Raja Gunung) yang beragama Budha, tetapi kemudian kawin dengan Rakai Pikatan (pikat: lekat, pikat) dari keturunan raja Sanjaya yang beragama Siwa. Perkawinan ini berlangsung sekitar tahun 832 M. Selanjutnya kedua orang tokoh tersebut bersama-sama mendirikan Candi Plaosan yang bercorak agama Budha.
Salah satu sudut candi NgawenTetapi perkawinan antara putri Budha (Pramodawardhani) dan putra Hindu (Rakai Pikatan) itu ditentang oleh Balaputra, saudara laki-laki Pramodawardhani. Maka terjadilah peperangan yang dahsyat antara Rakai Pikatan dan Balaputra. Peperangan itu terjadi di dataran Prambanan sekitar pertengahan abad IX Masehi. Balaputra terdesak dan kemudian mendirikan keraton atau benteng pertahanan di Bukit Boko (Candi Kraton Boko) yang terletak di sebelah selatan Prambanan. Tetapi karena terus terdesak akhirnya meninggalkan Jawa Tengah dan tiba-tiba sejarah mencatat Balaputra menjadi raja di Sumatera Selatan atau Sriwijaya (Casparis: Prasasti Indonesia II, 1956: 293-295). Rekonstruksi sejarah berdasarkan data prasasti kuno dari J.G. de Casparis itu cukup terkenal dan menarik perhatian para pakar sejarah Indonesia Kuno. Tetapi pendapat de Casparis yang menyamakan Sri Pramodawardhani dengan Sri Kahulunan, kemudian dibantah oleh M. Boechari yang mengatakan bahwa Sri Kahulunan bukannya permaisuri Rakai Pikatan, melainkan ibunya (Majalah Arkeologi, 1982: 15-20). Pendapat ini berdasarkan keterangan di dalam naskah Udyogaparwa, di mana Yudhisthira menggunakan sebutan Sri Kahulunan bagi ibunya, yaitu Kunti. Dengan demikian sri kahulunan bukannya berarti 'Yang Mulia Sri Ratu' ('here majesteit de koningin') melainkan 'Yang Mulia Ibu Suri' ('here majesteit de koningin moeder'). Dengan munculnya pendapat baru itu, maka tokoh Sri Pramodawardhani dan Sri Kahulunan merupakan dua tokoh putri Mataram Hindu yang berlainan, meskipun keduanya tampil dalam kurun waktu yang hampir bersamaan. Artinya Sri Pramodawardhani tampil dalam panggung peristiwa sejarah sekitar tahun 824 m (Karangtengah atau Kayumwungan) dan Sri Kahulunan tampil dalam sejarah sekitar tahun 842 M (Tri i Tpusan). Tokoh wanita Sri Kahulunan ini berkaitan dengan pembebasan tanah Tri i Tpusan (Tri Tpusan) untuk kepentingan bangunan suci (kamulan) di Bhumi Sambhara (cf. Candi Borobudur).
Prasasti Karangtengah (Kayumwungan) yang sekarang disimpan di Museum Jakarta (D.27 dan D.34) merupakan prasasti dwi-bahasa (bilingual inscription), yaitu menggunakan bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kuno. Angka tahun prasasti batu itu berbentuk chronogram (sengkalan) dan berbunyi rasa sagara ksitidhara dan melambangkan angka 647 atau apabila dibalik menjadi 746 Saka (824 M). Perkataan rasa (rasa) bernilai 6, sagara (laut) 4, dan ksitidhara (gunung) bernilai 7. Bagian yang menggunakan bahasa Sanskerta antara lain menyebut nama raja Dinasti Sailendra bernama Samaratungga dan putrinya bernama Sri Pramodawardhani. Bagian yang berbahasa Jawa Kuno selain menyebut tahun 746 Saka juga menyebut seorang tokoh bernama Rakarayan Patapan pu Palar yang diduga merupakan suami Sri Kahulunan (Majalah Arkeologi, 1982; 18).
Selanjutnya prasasti kayumwungan (nama desa dalam prasasti) memuat puji-pujian istimewa yang ditujukan kepada Pramodawardhani. Hal ini menunjukkan bahwa putri Pramodawardhani merupakan seorang putri Raja Samaratungga yang luar biasa. Artinya calon suami Pramodawardhani berhak atas tahta Mataram. Dikatakan pada bait 10 yang menggunakan bahasa Sanskerta bahwa Sri Pramodawardhani merupakan seorang putri yang cantik jelita dengan berbagai macam keistimewaan lainnya. Bagian itu berbunyi sebagai berikut:
Sa kantin candramaso gatin ca hamsat svaran ca kalavimkat
se.... nam harati sri mat pramodawardhanikhyata //10//.
Berarti:
"Kecantikannya diperoleh dari bulan purnama, lenggangnya dari angsa, dan suaranya dari burung kalawingka. Ia yang mulia bernama Pramodawardhani //10//.
Keistimewaan Sri Pramodawardhani dari abad IX tersebut tidak hanya karena rupa yang cantik molek, lenggang yang menggiurkan (bagaikan angsa) dan suara yang merdu (bagaikan burung kalawingka), melainkan juga karena jasa-jasanya membangun candi bersama-sama ayahnya, Samaratungga. Candi yang dibangunnya itu merupakan candi agama Budha (Jinamandira) yang disebut Wenuwana atau Srimad Wenuwana, berarti 'Yang Mulia Candi Hutan Bambu'. Dalam bahasa Sanskerta wenu berarti: bambu dan wana: hutan. Timbul pertanyaan, di manakah letak Candi Wenuwana tersebut? Dengan pertimbangan tertentu J.G. de Casparis menyamakannya dengan Candi Mendut sekarang yang erat kaitannya dengan Candi Pawon dan Candi Borobudur. Tetapi pendapat de Casparis itu sebetulnya masih meragukan. Setidak-tidaknya dipandang dari segi arca Budha yang terdapat di dalam bilik Candi Mendut dan juga dari segi etimologi (asal kata) Wenuwana. Seperti telah diketahui di dalam bilik Candi Mendut terdapat arca Buddha yang menggambarkan sewaktu Sang Buddha Gautama untuk pertama kalinya mengajarkan agama Budha di dalam taman rusa Mrgadawa di kota Benares. Maka itu di bawah kaki Sang Budha juga terdapat gambar dhammacakra (roda agama, dunia) yang diapit oleh dua ekor rusa (mrga). Demikian pula sikap tangan Sang Budha Gautama disebut dharmmacakraprawartanamudra, yaitu sikap tangan (mudra) sewaktu memutar (prawarta) dharmma atau ajaran suci di dunia (dharmmacakra). Tetapi harus diketahui bahwa Wenuwana di India bukannya terdapat di kota Benares, melainkan di kota Rajgir yang letaknya 300 km dari Benares. Peristiwa Wenuwana berkaitan dengan Raja Ajatasatru setelah bertobat dan tunduk kepada Sang Buddha dan selanjutnya menyerahkan sebuah hutan bambu (wenuwana) yang indah kepada Sang Buddha. Sampai sekarang, tepatnya di sebelah barat Muntilan dan relatif tidak jauh dari Candi Mendut, masih terdapat sebuah candi agama Buddha yang disebut Candi Ngawen oleh penduduk setempat. Candi Ngawen ini terkenal dengan arca singa yang menopang setiap sudut bagian kaki candi. Dipandang dari segi etimologi perkataan Ngawen berasal dari awi (bambu) yang kemudian mendapat imbuhan an (cf. Ciawi, kota Ngawi yang keduanya berkaitan dengan awi, bambu). Dengan demikian sudah jelas bahwa Candi Ngawen berarti Candi Bambu dan nama itu mengingatkan kita kepada Wenuwanamandira, Candi Hutan Bambu yang pernah dibangun oleh raja Samaratungga bersama-sama putrinya, Sri Pramodawardhani.
Lepas dari masalah benar tidaknya perkiraan ini, yang jelas tokoh putri Pramodawardhani merupakan seorang tokoh wanita zaman Mataram Hindu yang sungguh luar biasa. Selain mempunyai wajah yang cantik jelita, Pramodawardhani juga seorang tokoh wanita yang taat beragama dan mempunyai peranan penting dalam pembangunan candi. Pendek kata, wanita dalam masyarakat Jawa Kuno juga mendapat tempat yang layak dan wajar. Contoh lainnya, kecuali Sri Pramodawardhani, masih banyak lagi ditemukan dalam sejarah Indonesia kuno, dan menarik untuk dibicarakan.
Oleh M.M. Sukarto K. Atmodjo, Kartini no. 387
Dikutip dari : http://nusantara-dwipantara.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment