Candi Sukuh berlatar belakang agama Hindu dan diperkirakan dibangun didirikan pada akhir abad ke-15 M. Berbeda dengan umumnya candi Hindu di Jawa Tengah, arsitektur Candi Sukuh dinilai menyimpang dari ketentuan dalam kitab pedoman pembuatan bangunan suci Hindu, Wastu Widya. Menurut ketentuan, sebuah candi harus berdenah dasar bujur sangkar dengan tempat yang paling suci terletak di tengah. Adanya penyimpangan tersebut diduga karena Candi Sukuh dibangun pada masa memudarnya pengaruh Hinduisme di Jawa. Memudarnya pengaruh Hinduisme di Jawa rupanya menghidupkan kembali unsur-unsur budaya setempat dari zaman Megalitikum. Pengaruh zaman prasejarah terlihat dari bentuk bangunan Candi Sukuh yang merupakan teras berundak. Bentuk semacam itu mirip dengan bangunan punden berundak yang merupakan ciri khas bangunan suci pada masa pra-Hindu. Ciri khas lain bangunan suci dari masa pra-Hindu adalah tempat yang paling suci terletak di bagian paling tinggi dan paling belakang.
Menurut dugaan para ahli, Candi Sukuh dibangun untuk tujuan pengruwatan, yaitu menangkal atau melepaskan kekuatan buruk yang mempengaruhi kehidupan seseorang akibat ciri-ciri tertentu yang dimilikinya. Dugaan tersebut didasarkan pada relief-relief yang memuat cerita-cerita pengruwatan, seperti Sudamala dan Garudheya, dan pada arca kura-kura dan garuda yang terdapat di Candi Sukuh.
Gapura menuju teras pertama merupakan gapura paduraksa, yaitu gapura yang dilengkapi dengan atap. Ambang pintu gapura dihiasi pahatan kala berjanggut panjang. Pada dinding sayap utara gapura terdapat relief yang menggambarkan seorang yang sedang berlari sambil menggigit ekor ular yang sedang melingkar. Menurut K.C. Cruq, pahatan tersebut merupakan sebuah sengkalan (sandi angka tahun) yang dibaca gapura buta anahut buntut (gapura raksasa menggigit ekor ular). Sengkalan tersebut ditafsirkan sebagai tahun 1359 Saka atau tahun 1437 M, yang diyakini sebagai tahun selesainya pembangunan candi ini. Di atas sosok tersebut terdapat pahatan yang menggambarkan makhluk mirip manusia yang sedang melayang serta seekor binatang melata.
Pada sayap selatan gapura terdapat relief seorang tokoh yang ditelan raksasa. Pahatan tersebut juga merupakan sengkalan yang dibaca gapura buta mangan wong, yang artinya gapura raksasa memakan manusia. Sengkalan tersebut ditafsirkan sebagai angka tahun 1359 Saka atau 1437 M, sama dengan sengkalan pada dinding sayap utara gapura. Pada dinding luar gapura juga terdapat pahatan yang menggambarkan sepasang burung yang sedang hinggap di atas pohon, sementara di bawahnya terdapat seekor anjing, dan garuda dengan sayap terbentang sedang mencengkeram seekor ular. Di halaman depan, di luar gapura, terdapat sekumpulan batu dalam aneka bentuk. Di antaranya ada yang berlubang di atasnya, mirip sebuah lingga, dan ada yang menyerupai tempayan.
Di atas ambang pintu gapura, menghadap ke pelataran teras pertama, terdapat hiasan Kalamakara yang saat ini telah rusak berat. Pada dinding sayap utara dan selatan terdapat pahatan lelaki dalam posisi berjongkok sambil memegang senjata.
Pelataran teras pertama yang tidak terlalu luas terbelah batu-batu yang disusun membentuk jalan menuju gapura menuju teras kedua. Di sisi utara pelataran teras pertama ini terdapat 3 panel batu yang diletakkan berjajar. Panel pertama memuat gambar seorang lelaki sedang berkuda diiringi oleh pasukan bersenjata tombak. Di samping kuda seorang lelaki berjalan sambil memayunginya. Panel kedua memuatan gambar sepasang lembu dan panel ketiga memuat gambar seorang lelaki menunggang gajah. Di sisi selatan terdapat kumpulan batu berbagai bentuk dan beberapa buah lingga.
Di sisi timurlaut atau bagian belakang pelataran teras kedua terdapat gerbang berupa gapura bentar yang mengapit tangga menuju ke pelataran teras kedua. Tidak terdapat pahatan atau hiasan pada dinding gapura ini. Di pelataran teras kedua yang tidak terlalu luas juga tidak terdapat arca ataupun relief.
Di sisi utara timur atau bagian belakang pelataran teras kedua terdapat gerbang berupa gapura bentar yang mengapit tangga menuju ke pelataran teras ketiga. Gapura ini dalam keadaan rusak berat. Di depan gapura terdapat sepasang Arca Dwarapala yang saat ini dalam keadaan telah aus. Pahatan kedua arca penjaga pintu ini kasar dan kaku dan wajahnya sama sekali tidak menyeramkan, bahkan terkesan lucu.
Di bagian selatan pelataran teras ketiga ini terdapat panel-panel batu yang ditata berjajar. Panel-panel batu ini memuat relief dengan tema cerita yang diambil dari Kidung Sudamala.
Cerita Sudamala mengisahkan tentang Sadhewa, salah satu dari satria kembar di antara kelima satria Pandawa, yang berhasil meruwat (menghilangkan kutukan) dalam diri Dewi Uma, istri Bathara Guru. Dewi Uma dikutuk oleh suaminya karena tidak dapat menahan kemarahannya terhadap suaminya yang minta untuk dilayani pada saat yang menurutnya kurang layak. Karena menunjukkan kemarahan yang meluap-luap, Sang Dewi dikutuk dan berubah wujud menjadi seorang raksasa bernama Bathari Durga. Bathari Durga yang menyamar sebagai Dewi Kunthi, ibu para Pandawa, mendatangi Sadewa dan meminta satria itu untuk meruwat dirinya. Kisah tersebut dituangkan dalam lima panel relief.
Relief pertama menggambarkan Dewi Kunti palsu yang merupakan penyamaran Bathari Durga yang mendatangi Sadewa dan meminta satria itu 'meruwat' (menghilangkan kutukan) dirinya. Relief kedua menggambarkan ketika Bima, kakak Sadewa, berperang dengan seorang raksasa. Tangan kiri Bima mengangkat tubuh raksasa, sedangkan tangan kanannya menancapkan kuku Pancanaka (senjata pusaka Bima) ke perut lawannya.
Relief ketiga menggambarkan Sadewa, yang menolak untuk 'meruwat' Bathari Durga, diikatkan ke sebuah pohon. Di hadapannya berdiri Bathari Durga yang mengancamnya dengan menggunakan sebilah pedang. Relief keempat menggambarkan pernikahan Sadewa dengan Dewi Pradhapa yang dianugerahkan kepadanya karena berhasil 'meruwat' Bathari Durga. Relief kelima menggambarkan Sadewa beserta pengiringnya menghadap Dewi Uma yang telah berhasil diruwat.
Di pelataran sebelah selatan jalan batu ada terdapat candi kecil, dan di dalamnya terdapat arca dengan ukuran yang kecil pula. Menurut mitologi setempat, candi kecil itu merupakan kediaman Kyai Sukuh sang penguasa kompleks Candi Sukuh.
Di depan bangunan utama terdapat tiga arca bulus kura-kura berukuran besar. Kura-kura yang melambangkan dunia bawah, yakni dasar gunung Mahameru, juga terdapat di Candi Cetha.
Bangunan utama berbentuk trapesium berdenah dasar 15 m2 dan tinggi mencapai 6 m. Di pertengahan sisi barat bangunan terdapat tangga yang sempit dan curam menuju ke atas atap. Diduga bangunan yang ada saat ini adalah batur atau kaki candi, sedangkan bangunan candinya sendiri kemungkinan terbuat dari kayu. Dugaan tersebut didasarkan pada adanya beberapa umpak (kaki tiang bangunan) batu di pelataran atap. Di tengah pelataran atap terdapat sebuah lingga. Konon yoni yang merupakan pasangan lingga tersebut saat ini disimpan di Museum Nasional di Jakarta.
Upaya pelestarian Candi Sukuh telah dilakukan sejak jaman Belanda. Pemugaran pertama dilakukan oleh Dinas Purbakala pada tahun 1917. Pada akhir tahun 1970-an Candi Sukuh mengalami pemugaran kembali oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
sumber : http://candi.pnri.go.id/
No comments:
Post a Comment